Senin, 12 Maret 2018

“Sekolah Robot Nasional”



Selamat datang di “Sekolah Robot Nasional”. Tulisan gerbang mewah bernilai hampir satu Milyar itu dengan gagahnya menyambut pengunjung dan siswa/i tercerdas di negeri ini. Bagaimana tidak, 13.414 calon siswa nasional bersaing merebut 2.515 kursi. Hebatnya lagi, sekolah kami hanya menerima 96 siswa saja. That’s epic. Angka fantastic bukan? Belum cukup gan, sekolah ini juga membuka jalur seleksi Internasional untuk anak berkewarganegaraan asing. Segitunya ya?
 Mundur sedikit bro. Tepatnya sekitar pertengahan Desember 2014 lalu, saya memulai percakapan sederhana dengan adek Sisingamangaraja XIV. “Dek! Kebayang gak sih kalau setelah wisuda abang mengajar di sebuah pesantren di pelosok negeri, lalu menikah dengan putri kyainya?” Dia menjawab dengan sedikit tawa menggelikan “haha Habislah abang. Sampai akhir hayat di sanalah itu”.
Ok done, selesai sudah….. Ini mungkin kilas balik percakapan sekaligus do’a hari itu.
Perkenalkan bray, sekarang saya mengabdi di salah satu sekolah bergengsi di negeri ini. Gedung sekolahnya berdiri kokoh di antara resort dan lapangan golf ternama di ujung pulau segitiga emas ekonomi nasional. Menang lomba adalah makanan kami sehari-hari. Bosan mendengarnya. 80% anaknya fasih berbahasa Inggris dan 40% lagi lancar berbahasa Arab. Tidak sedikit juga yang mahir bahasa Jepang, Korea, Mandarin, Russia bahkan Spanyol dan Hebron. Gila.....
Golden ticket masuk UGM, ITB, UPI,UIN, IPB sudah mereka genggam meski baru duduk di kelas X dan XI.  Beberapa anak juga terpillih untuk mengikuti simulasi kegiatan Model United Nations (PBB) di Korea Selatan, Kuala Lumpur, Singapore dan Thailand. Satu anak juga lulus pertukaran pelajar di USA. Komiknya juga tembus Internasional. Ahh… tak terhitung jari.
Lanjut lagi, mereka juga memenangkan olimpiade matematika yang di adakan di kota kami. Sekolah-sekolah bergengsi bertaraf Nasional dan Internasionalpun habis mereka sapu. Beberapa hari lalu tiga anak juga masuk finalis lomba yang digelar  Otoritas Jasa Keuangan. Ya, dalam waktu dekat mereka akan visit kantor Google Indonesia. Insane.... kalau barometernya adalah provinsi, sekolah robot ini adalah sekolah terbaik.
Iya, sebagian besar mereka adalah siswa yang rata-rata memiliki IQ di atas 120 alias otak Superior. Ada juga yang mengalahkan kecerdasan Napoleon Bonaparte dan Adolf Hitler. Karena ada 2 anak yang sampai 145, Genius. Sudah cerdas, hafal delapan juz Qur’an lagi. Saya memanggilnya Mr. Crack. Hitam kecil, berpenampilan apa adanya. Dia juga ada di balik pembuatan pesawat Habibie R80. Ha? Masa? Iya bro. Sekolah kami diundang di Habibie Festival beberapa waktu lalu. Sempat berfoto juga dengan anaknya, Ilham Habibie.
            Sudahlah,,, yang jelas tiap hari saya semakin bertambah cerdas di sini karena berteman dengan anak-anak superior. Melihat anak-anak china sibuk menghafal Al-Qur’an dan fasih berbahasa surga adalah pemandangan biasa di sini. Akhir tahun lalu mereka jugalah yang mengantarkan saya untuk masuk jajaran calon guru begelar profesional di Surabaya. Sebenarnya persyaratan program ini haruslah berpengalaman minimal 12 tahun mengajar. But, apapun bisa terjadi di sekolah Robot kami.
            Itu sedikit cerita bahagianya. Sekarang kita masuk ke dalam sekolah lewat pintu belakang. Kita adalah sekolah robot, diatur rapi sedemikian rupa oleh Nasional. Bangun jam 03.30 a.m, tidur jam 11.00 p.m. Tahajjud dan Dhuha adalah wajib bagi kami. Berangkat sekolah pukul 06.40, selesai pukul 17.15. waktu istirahat hanya 15 menit. Tidak ada waktu bercanda, rendah nilai langsung klinik dengan guru yang bersangkutan. Kira-kira nilai tidak terselamatkan, di akhir semester siswanya akan dikeluarkan. Cool..... Kompetisi sesama mereka tinggi sekali. Ada tidak ada guru sama saja. Mereka pasti belajar dengan tenang, karena CCTV menangkap dari setiap koridor sekolah. Tidur dan terlambat ke sekolah dan Masjid langsung diberi point. Semua dihantui oleh point dan point.
            Saya saja, merasa seperti membina robot. Robot yang tidak pernah capek, dan tidak berperasaan. Mereka tidak sempat bergurau dan bercanda. Pacaran dan kenakalan anak sekolah pada umumnya tidak ada di kami. Juara umum di SMP, di sini paling keras hanya dapat ranking belasan dan dua puluhan.
            Seringkali saya mendapati anak termenung bahkan menangis karena tidak mampu bersaing di kelasnya, dan takut memalukan orangtua jika dikeluarkan. Standar dan tuntutan kurikulum yang overload. Ego anak-anak pintar tinggi sekali. Mereka tidak ada waktu mengajari yang lambat sedikit di belakang mereka. Target kami dipatok jelas, harus menjadi sekolah unggulan Nasional dengan rata-rata UN tertinggi.
            Alhasil, sebagai pemerhati pendidikan saya merasa iba dan cemas. Semua bisa berujung stress dan berontak. Kurikulum ini menghasilkan anak-anak robot cerdas yang ditempa untuk selalu berargumen dan berdebat. Hal yang paling saya takutkan lagi, mereka juga nanti bisa complain dan berdiplomasi kasar kepada guru dan orangtua mereka. Tentu akan berakibat “durhaka”. Parah... bibitnya sudah ada. Darurat akhlak. Naudzu billah. Ya mau dibilang apa, anak DPR, bupati, walikota dan pejabat penting bersekolah di sini.  Tinggal anak Presiden saja yang belum ada. Sebagian besar orangtua memaksa agar anak mereka dapat nilai setinggi langit, berbanding lurus dengan tuntutan kurikulum. Lengkap sudah. Keluarga kaya tentu menginginkan punya keturunan yang cerdas kuadrat. Gengsi lebih sering diutamakan. Keberhasilan anak hanya diukur melalui angka-angka raport semata. Tolonglah,,,! hati robot-robot itu berteriak tak tersampaikan.
            Pak Menteri!!! Kenapa kurikulum kita begini? Tolong pikir sepuluh kali lagi! Kami bukan guru robot dan juga bukan siswa robot. Kami punya lelah, punya hati dan perasaan yang harus diekspresikan.
            Kalau boleh bicara hati, robot-robot ini mungkin tak mau berlama-lama di sini. Terlalu padat dan menyesakkan dada. Sebagai pembina robot saya juga sering terpikir untuk beralih profesi. Jujur kadang tak kuat, karena memang belum ada penguat hati. Aduhh… lari dari topik ini. Banyak pertimbangan ini dan itu. Saya sudah seringkali pindah kerja. Memang manusia itu tak ada puasnya ya. Di tanah manapun pasti ada Muhammad dan Abu Jahalnya. Ya Allah, hati ini sudahlah. Gaji adalah nomor sekian, yang terpenting adalah hati sejalan dengan pekerjaan. Sebenarnya Desember kemarin sudah bulatkan tekad untuk kerja di kampung. Rencana hidup bersama orangtua di hari senja mereka sudah saya pikirkan matang-matang. Mereka adalah prioritas utama.
Moreover, tawaran kerja sekolah Sains Qur’an di bumi Lancang Kuning, menjadi pemicu pula untuk pindah tugas. Lagian, sekolah robot kami butuh pendidik yang berpendidikan Master. Kalau S1 mah, gak lama lagi akan di DO. Kind of. Intinya, sekarang lagi mencoba cari kerja. Ahh apa lah? Ini hati maunya apa sih? “Ngulanjak”, kata orang Lampung. Tapi sampai kapan? Stuck under pressure, guys.
Ya udahlah pulang kampung aja lagi besok. Menikah dengan gadis desa yang tidak banyak tuntutan. Orang pintar itu kesannya hanya ahli membodohi sekitar. Orang jujur itu, orang yang tidak sekolah. Dulu, saya sangat hormat dan hargai orang-orang pintar, cerdas. Dewasa ini saya jauh lebih memuliakan orang-orang baik. Cukup ini saja dulu, robot-robot mengajak untuk sama-sama isi daya. Baterai dah habis.



Hang Lekiu, at 07.51 PM, March 12, 2018

4 komentar:

  1. Content contains quality lessons...
    If everyone hears the screams of the hearts of robots,There will no longer be masters and slaves...

    BalasHapus

(A)B,C,D. (Allexyndary) Betaemeis, Calvicentura & Damixoverty

Apa kabar? Semoga tetap dalam limpahan rahmat-Nya. Beberapa waktu lalu saya diminta untuk menghapus tulisan di media sosial d...