Aku itu kecil, tak berpendidikan tinggi.
Aku tidak lanjut sekolah pasca. Aku tidak tau menau tentang thesis. Aku tidak
punya pekerjaan yang mapan. Aku gak ada biaya untuk menikah. Dan aku, dan aku hanya.
Ya hanya begitu saja. 100 km bergerak lurus beraturan ke belakang.
Kawan!!! Dulu aku seorang pemimpi. Cita-citaku
tinggi dan luhur. Aku bercita-cita memberangkatkan orang tua ke tanah suci. Aku
mau kuliah di Ohio, Arizona, Twenty dan Al-Azhar University, Cairo. Sebelum
kawan-kawanku seusiaku stress dengan UN SMP, aku malah sudah bercita-cita untuk
jadi Mendiknas hari itu sahabat. Dulu juga aku mau jadi dosen. Aku calon ilmuan
yang punya banyak hak paten. Itu dulu. Kapan? Dululah. Dulu bangat lagi. Dulu
kapan? Ehh... sayapun dah lupa dulu itu kapan.
Yang jelas waktu itu aku suka mencoret
dinding dengan mimpi-mimpi konyolku. Gurfah pondokku penuh dengan kata-kata
yang menyemangati aktivitasku sehari-hari. Ustadzku kerap kali memujinya. Ibu kostku juga sering terheran dan
menganggap aneh dengan tingkah aku ketika mencoret-coret kamar ukuran 2x3 m itu. Tapi tidak sedikit yang terinspirasi.
Adek-adek pondokku senang belajar di gurfahku.Tapi..... sekarang baru ketemu
dengan titik jenuh. 0 derajat namun tak membeku. Ternyata aku hanyalah
motivator. Can’t be motivated. Aku ahlinya menasehati, giliran
menasehati diri sendiri, yahhhhh... jangan harap. Seringkali bertemu jalan
buntu. Truck yang aku kemudikan sudah jatuh ke jurang ngarai sianok, tergelincir
lagi ke sungai kecil, malam hari gak ada cahaya, gak ada katrol. Gak ada orang
lain yang lewat. Hujan deras mengguyur, banjir bandang menerjang. Lengkap
sudah. Hancur hidup. Nasibku tak kunjung membaik dan kini aku lebih banyak
meratapinya.
Tiap
pagi di lima bulan terakhir ini aku selalu bertemu dengan dua meja usang di
sudut kantor kecil tepat di samping ruangan kepala sekolah. Soal dan
tugas-tugas anak murid menggunung berantakan tak kunjung saya periksa. Ada enam
boardmarker di kotak hitam yang biasa aku pakai untuk mengajar, sekarang sudah
kosong. Disk interaktif bahasa Inggris masih tersusun rapi gak pernah
diputar. SK perpanjangan kontrak tak belum
juga aku tanda tangani. Kepala sekolah tiap hari menanyakannya. Aku selalu
jawab “besok ya pak”. Ragu bercampur malas serta masalah yang begitu rumit
menjadikan saya berpikir 46 kali untuk memutuskan lanjut atau tidak. Kepada
Allah aku beristikhoroh, kepada orang tua aku minta pendapat, kepada abang aku
minta saran. Kepada Iqbal Samuel murid sekaligus kawan akrab aku curhatkan.
Sudah mulai bosan jadi tenaga pengajar.
Tak niat lagi untuk mendidik. Aku lebih suka dididik. Aku malas mengajar, aku
lebih senang diajari. Aku bosan menasehati dan membimbing. Aku lebih suka
dinasehati dan dibimbing. I’m stuck in reverse.
Aku banyak bertemu dengan siswa/i yang
tidak kenal dengan tata krama. Mereka tidak paham tugas seorang thalib. Mereka
tidak paham makna pendidikan. Mereka sukanya dilayani dan disuapi, bukan menimba
dan memohon. Tidak jarang guru-guru mereka sakiti. Miris sekali ketika ada guru
yang dibentak oleh muridnya. Suara mereka jauh lebih keras dibanding kami. Atau
karena ini adalah Batam? Kota materialistis. Ntahlah.... mereka maunya
memperoleh ilmu secara instan. Guru hanyalah USB untuk komputer mereka. Aku
juga terlalu ambil pusing, tempramen, bukan sosok guru yang bijak. Mengajar dengan
keras dicap killer, mengajar dengan lemah lembut disalah artikan dan kerap kali
diabaikan. Simalakama......
Di lembaran lain, panggilan dari ikatan
MGMP Bahasa Inggris se-kota Batam sudah sering aku abaikan. Soal Try Out tak
ada satupun yang saya serahkan. Baharung. Media sosialku diwarnai dengan berita
yang menyesakkan dada. Puluhan undangan nikah dan tawaran Master program. Antara
envy dan happy. Mau lanjut S2 gak ada beasiswa, mau nikah gak ada perempuan
yang mau diajak untuk berjuang dari nol. Sahabat-sahabat lama sudah apply
beasiswanya ke luar negeri. Adek kelasku lagi pertukaran pelajar di Amerika. Abang
kelasku dengan senyum sumringah mengupload foto mereka dari Ummul Quraa, Uncle
Sam, Malaysia, Brunei, Thailand dan Britania Raya.
Orangtua yang semakin renta membuatku
untuk menunda segalanya. Mereka adalah hartaku saat ini. Aku sangat mencintai
mereka. Aku yang dulu sangat berjiwa sosial, yang mau mengajar tanpa harus
dibayar mahal, berubah menjadi aku yang berpikir materialistis dan serba perhitungan, karena aku memang punya tanggung
jawab. Ntah ini salah di mata Tuhan. Semoga Dia tidak marah besar.
Guru = Buruh. Guru bukanlah profesi yang
disukai khalayak ramai. Guru sekarang bahkan jauh lebih rendah nasibnya dibanding
buruh. UMK kota Batam untuk Shipyard sudah mencapai Rp.3,3 juta. Gaji honor susah,
jangan harap. Tapi lagi-lagi nasib kami di sini sudah lebih baik dari daerah
lain. Kawan saya yang lain mungkin hanya 1 jutaan lebih. Gila ya.... sekarang
saya sudah berbicara gaji dan uang. Tema yang sangat tabu dan bodoh untuk
dibahas. Kesannya hidup ini untuk mengejar materi saja. Tapi memang munafik
kalau saya katakan tidak butuh uang saat ini. Secara untuk SPP saja butuh 7-8
juta persemesternya. Apa saya harus kerja di PT atau apa gitu? Saya lulusan
sarjana pendidikan lho. Apakah saya tidak berdosa jika bekerja tidak linear
dengan keilmuan saya? Niat mau jadi orang kaya memang jangan jadi guru. Ntahlah....
Tuhan terus yang aku tuntut. Padahal........I’m nothing and none without Him.
Mungkin pulang kampung akan jauh lebih
baik. Bertani dan menikah dengan gadis desa yang tidak banyak tuntutannya. Aku
pecundang. Aku terlalu banyak kekurangan. Aku menutup mata rapat-rapat. Aku mundur.
Aku give up. Aku memang tidak bijak
menyikapi hidup. Aku mengutuk keadaan. Aku pasti berdosa besar. Faghfirli!
Distrik XX, March 17, 2016
1xBet korean sportsbook: odds and live lines
BalasHapus1xBet 1xbet сайт korean sportsbook: odds and live lines. Best for players: football, basketball, soccer.