Rabu, 16 Maret 2016

Aku Berdosa Besar Karena Telah Mengutuk Nasib






 Aku itu kecil, tak berpendidikan tinggi. Aku tidak lanjut sekolah pasca. Aku tidak tau menau tentang thesis. Aku tidak punya pekerjaan yang mapan. Aku gak ada biaya untuk menikah. Dan aku, dan aku hanya. Ya hanya begitu saja. 100 km bergerak lurus beraturan ke belakang.
Kawan!!! Dulu aku seorang pemimpi. Cita-citaku tinggi dan luhur. Aku bercita-cita memberangkatkan orang tua ke tanah suci. Aku mau kuliah di Ohio, Arizona, Twenty dan Al-Azhar University, Cairo. Sebelum kawan-kawanku seusiaku stress dengan UN SMP, aku malah sudah bercita-cita untuk jadi Mendiknas hari itu sahabat. Dulu juga aku mau jadi dosen. Aku calon ilmuan yang punya banyak hak paten. Itu dulu. Kapan? Dululah. Dulu bangat lagi. Dulu kapan? Ehh... sayapun dah lupa dulu itu kapan.
Yang jelas waktu itu aku suka mencoret dinding dengan mimpi-mimpi konyolku. Gurfah pondokku penuh dengan kata-kata yang menyemangati aktivitasku sehari-hari. Ustadzku kerap kali memujinya.  Ibu kostku juga sering terheran dan menganggap aneh dengan tingkah aku ketika mencoret-coret kamar ukuran 2x3 m itu. Tapi tidak sedikit yang terinspirasi. Adek-adek pondokku senang belajar di gurfahku.Tapi..... sekarang baru ketemu dengan titik jenuh. 0 derajat namun tak membeku. Ternyata aku hanyalah motivator. Can’t be motivated. Aku ahlinya menasehati, giliran menasehati diri sendiri, yahhhhh... jangan harap. Seringkali bertemu jalan buntu. Truck yang aku kemudikan sudah jatuh ke jurang ngarai sianok, tergelincir lagi ke sungai kecil, malam hari gak ada cahaya, gak ada katrol. Gak ada orang lain yang lewat. Hujan deras mengguyur, banjir bandang menerjang. Lengkap sudah. Hancur hidup. Nasibku tak kunjung membaik dan kini aku lebih banyak meratapinya.
 Tiap pagi di lima bulan terakhir ini aku selalu bertemu dengan dua meja usang di sudut kantor kecil tepat di samping ruangan kepala sekolah. Soal dan tugas-tugas anak murid menggunung berantakan tak kunjung saya periksa. Ada enam boardmarker di kotak hitam yang biasa aku pakai untuk mengajar, sekarang sudah kosong. Disk interaktif bahasa Inggris masih tersusun rapi gak pernah diputar.  SK perpanjangan kontrak tak belum juga aku tanda tangani. Kepala sekolah tiap hari menanyakannya. Aku selalu jawab “besok ya pak”. Ragu bercampur malas serta masalah yang begitu rumit menjadikan saya berpikir 46 kali untuk memutuskan lanjut atau tidak. Kepada Allah aku beristikhoroh, kepada orang tua aku minta pendapat, kepada abang aku minta saran. Kepada Iqbal Samuel murid sekaligus kawan akrab aku curhatkan.
Sudah mulai bosan jadi tenaga pengajar. Tak niat lagi untuk mendidik. Aku lebih suka dididik. Aku malas mengajar, aku lebih senang diajari. Aku bosan menasehati dan membimbing. Aku lebih suka dinasehati dan dibimbing. I’m stuck in reverse.
Aku banyak bertemu dengan siswa/i yang tidak kenal dengan tata krama. Mereka tidak paham tugas seorang thalib. Mereka tidak paham makna pendidikan. Mereka sukanya dilayani dan disuapi, bukan menimba dan memohon. Tidak jarang guru-guru mereka sakiti. Miris sekali ketika ada guru yang dibentak oleh muridnya. Suara mereka jauh lebih keras dibanding kami. Atau karena ini adalah Batam? Kota materialistis. Ntahlah.... mereka maunya memperoleh ilmu secara instan. Guru hanyalah USB untuk komputer mereka. Aku juga terlalu ambil pusing, tempramen, bukan sosok guru yang bijak. Mengajar dengan keras dicap killer, mengajar dengan lemah lembut disalah artikan dan kerap kali diabaikan. Simalakama......
Di lembaran lain, panggilan dari ikatan MGMP Bahasa Inggris se-kota Batam sudah sering aku abaikan. Soal Try Out tak ada satupun yang saya serahkan. Baharung. Media sosialku diwarnai dengan berita yang menyesakkan dada. Puluhan undangan nikah dan tawaran Master program. Antara envy dan happy. Mau lanjut S2 gak ada beasiswa, mau nikah gak ada perempuan yang mau diajak untuk berjuang dari nol. Sahabat-sahabat lama sudah apply beasiswanya ke luar negeri. Adek kelasku lagi pertukaran pelajar di Amerika. Abang kelasku dengan senyum sumringah mengupload foto mereka dari Ummul Quraa, Uncle Sam, Malaysia, Brunei, Thailand dan Britania Raya.
Orangtua yang semakin renta membuatku untuk menunda segalanya. Mereka adalah hartaku saat ini. Aku sangat mencintai mereka. Aku yang dulu sangat berjiwa sosial, yang mau mengajar tanpa harus dibayar mahal, berubah menjadi aku yang berpikir materialistis dan  serba perhitungan, karena aku memang punya tanggung jawab. Ntah ini salah di mata Tuhan. Semoga Dia tidak marah besar.  
Guru = Buruh. Guru bukanlah profesi yang disukai khalayak ramai. Guru sekarang bahkan jauh lebih rendah nasibnya dibanding buruh. UMK kota Batam untuk Shipyard sudah mencapai Rp.3,3 juta. Gaji honor susah, jangan harap. Tapi lagi-lagi nasib kami di sini sudah lebih baik dari daerah lain. Kawan saya yang lain mungkin hanya 1 jutaan lebih. Gila ya.... sekarang saya sudah berbicara gaji dan uang. Tema yang sangat tabu dan bodoh untuk dibahas. Kesannya hidup ini untuk mengejar materi saja. Tapi memang munafik kalau saya katakan tidak butuh uang saat ini. Secara untuk SPP saja butuh 7-8 juta persemesternya. Apa saya harus kerja di PT atau apa gitu? Saya lulusan sarjana pendidikan lho. Apakah saya tidak berdosa jika bekerja tidak linear dengan keilmuan saya? Niat mau jadi orang kaya memang jangan jadi guru. Ntahlah.... Tuhan terus yang aku tuntut. Padahal........I’m nothing and none without Him.
Mungkin pulang kampung akan jauh lebih baik. Bertani dan menikah dengan gadis desa yang tidak banyak tuntutannya. Aku pecundang. Aku terlalu banyak kekurangan. Aku menutup mata rapat-rapat. Aku mundur. Aku give up.  Aku memang tidak bijak menyikapi hidup. Aku mengutuk keadaan. Aku pasti berdosa besar. Faghfirli!

                                                                     Distrik XX, March 17, 2016









1 komentar:

  1. 1xBet korean sportsbook: odds and live lines
    1xBet 1xbet сайт korean sportsbook: odds and live lines. Best for players: football, basketball, soccer.

    BalasHapus

(A)B,C,D. (Allexyndary) Betaemeis, Calvicentura & Damixoverty

Apa kabar? Semoga tetap dalam limpahan rahmat-Nya. Beberapa waktu lalu saya diminta untuk menghapus tulisan di media sosial d...