Saudaraku! Saya gak tahu kenapa saya
perlu menulis ini. Di kota keras ini susah mendapatkan teman curhat. Ini saya
meminta obat hati. Saya mengajar di sebuah yayasan berlabel Islam di salah satu
sudut kota Batam nan padat. Instansi yang memang pernah saya impikan. Semoga catatan
kecil ini tidak membuat saya dipecat.
Saya terdiam 30 menit memikirkan
makna mendalam sebuah kutipan berbahasa Inggris di halaman facebook tadi malam.
Kata-katanya seperti ini “If a drop of water falls on a Lake, its identity is
lost. If it falls on Lotus leaf, it shines like a Pearl. Drop is the same; but
the company matters”. Artinya kurang lebih seperti ini; Jika setetes air jatuh
di atas sebuah danau, ia akan sirna tak berarti. Jika ia jatuh di atas daun
teratai, ia akan bersinar seperti mutiara. Tetesannya sama, tapi tempat
jatuhnya yang menjadikan keduanya berbeda.
Ini mengindikasikan kalau siapapun bisa
lebih bersinar dan berkarya lebih jika ia bekerja sesuai kualifikasi
keilmuannya dan ditempatkan di lingkungan yang sesuai karakternya. Dan dia
enjoy, hasilnya pasti maksimal.
Saya mungkin bisa jauh lebih
dihargai jika bekerja di instansi lain. Saya mungkin bisa dianggap guru dengan
posisi benar-benar guru, pendidik dengan tempat yang memang layak ia tempati. Saya
tidak berbicara income sekarang. Yang saya maksudkan adalah selfesteem,
penghormatan secara attitude. Kalaulah saya sepenuhnya mencari uang, jelas guru
bukanlah daftar profesi menjanjikan. Secara income memang sudah lama saya
dapatkan sindiran tajam dari sahabat-sahabat yang mungkin hanya lulusan SMA
atau bahkan SMP. Gaji mereka jauh berlipat ganda dari yang saya peroleh. “Masa
S1 dibayar segitu?”, kata mereka. Ini Batam lho. But I still keep calm. Mereka
lucky dan berbakat jadi orang kaya. Dalam catatan saya, mengajar adalah
pekerjaan yang ideal untuk orang sekerdil saya. Saya tidak cukup bijak
berbisnis, apalagi kerja under pressure. Tapi,,,,,,,,,
Tapi, iya tapi yang ini jauh dari
kata tertekan. Yayasan menuntut guru-gurunya untuk bekerja penuh. Di samping
itu saya juga lama-lama muak dengan anak didik yang tidak tahu tata krama. 3
minggu terakhir ini saya mengajar additional class untuk employee pada malam
hari. Yayasan tidak mengizinkan secara tertulis. Peserta didik saya itu adalah karyawan perusahaan yang memiliki
uang berlebih. Usia mereka semuanya di atas saya. Belajar bahasa Inggris untuk
meningkatkan posisi mereka di perusahaan. Minggu lalu seusai pembelajaran
ditutup saya persilakan mereka terlebih dahulu untuk keluar sementara saya harus
membersihkan tangan karena ada sedikit tinta boardmarker. Mereka bukannya pulang
malah ribut di luar. “what’s going on?” tanya saya. Seorang wanita menjawab ini
si “Xyxy” memuji-muji Mister terus, katanya Mister berbakat sekali untuk jadi
tenaga pengajar. Kami maunya belajar sama Mister terus setiap pertemuan, bukan
Conversation Class aja. Apa ini? Kan saya gak bisa. Nanti saya dipecat yayasan
saya gimana. Mereka memuji dan mengangkat saya habis-habisan. Ahhh... Pujian
itu 11 VS 12 dengan jurang. Mama saya tiap hari lagi mujinya. But overall
Alhamdulillah, ternyata masih ada yang membutuhkan saya. Kalau saja kalian
tahu, saya tidak mau berjumpa dengan kalian. Tidak suka bicara hingga berbusa yang
berujung sia-sia. Saya tidak suka mengajar, belum cukup ilmu saya. Masih ingin
lanjut Master program. Tapi keadaan berbicara lebih banyak.
Berbeda 180 derajat dengan yang saya
alami di sekolah formal. Di sekolah saya tidaklah begitu dihargai. Dicap guru
killer. Perhatian dan kasih sayang saya disalah artikan. Apalagi ini sistem
Boarding, mereka sudah saya anggap seperti keluarga. Kenapa akhlaknya malah
lebih buruk dibandingkan sekolah yang tidak mengenal agama. Saya mencintai dan
menyayangi mereka, namun tak pernah berbalas. Mencintai itu kewajiban, dicintai
itu opsional. Tidak sengaja dengar dari dalam Lab percakapan dua siswa “kau
baik-baik, nanti pak Zul marah baru kau tahu, kalau belum tahu kan kalau pak
zul marah, aku aja takut padahal aku dengarnya dari luar di kelas III kemarin
pokoknya ngerilah.” Saya dudukkan sebentar, ajak hati untuk kompromi. Terulang ketika
ada beberapa kelas yang menolak saya untuk menggantikan guru di Pekanbaru dulu.
Sudah tak terhitung berapa kali saya mengusir siswa dari kelas ketika sedang
menerangkan. Puncak kemarahan saya adalah kamis 2 hari yang lalu. Padahal kami
sedang berpuasa sunah. Setan saya besar, gemetar badan saya pengen melayangkan
tangan ini ke wajahnya. Dalam hati menangis, kenapa anak itu bisa berkata tidak
senonoh kepada gurunya. Perlakuan ke saya memang sedikit berbeda, saya tidak
tahannya ketika mereka melawan guru-guru yang sudah berumur hampir setengah
abad.
Saya memiliki sahabat akrab ahli
Matematika, pemenang Olimpiade Sains yang sudah melanglang buana keliling
Indonesia, dan yang paling saya kagumi adalah beliau hafal Qur’an. I just guess
it. Tapi ayat Qur’an manapun yang saya ceritakan dan bacakan, dia nimbrung
begitu saja. Ia adalah orang tercerdas yang pernah kenal selama saya hidup. Saya
bahkan ragu kalau dosen, guru atau barisan ilmuan lebih cerdas dari beliau.
Saya sudah lama tidak menanyakan kabarnya. Terakhir kali dia mengatakan kalau
dia akan lanjut S2 di Institut Teknologi Bandung, kampus yang mungkin tidak
akan pernah saya nikmati. Hanya saja beasiswanya belum keluar hingga hari ini. Saya
heran kenapa tidak ada pihak yang membiayainya. Padahal ia adalah lulusan
terbaik sekaligus Cumlaude di angkatan saya. Dia saja tidak dapat schoolarship,
apalagi saya ya. Dia mengeluhkan bagaimana kondisinya sebagai tenaga pengajar. Ia
akui kalau ia tidak sanggup mengajar orang-orang dengan level beginner atau
intermediate. Ia hanya bisa mengajar level advance, siswa-siswi yang biasa
bergelut dengan Olimpiade. Inilah yang terjadi dengan saya saat ini. Bukan
karena sombong atau apa. Saya mulai sadar kalau saya bukanlah guru yang bijak.
Saya ternyata hanya bisa mengajar orang-orang yang bisa diajak belajar. Ini
tidaklah dibenarkan. Saya tidak punya jurus ampuh atau trik jitu untuk membuat anak
pemalas, anak bandel atau pembangkang kelas kakap belajar dengan benar. Saya
sangat tidak terima ketika materi yang saya ajarkan tidak mampu dicerna anak
saya. Saya emosi ketika mereka kerap kali mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan
marah besar ketika skor mereka tidak sanggup mencapai ketuntasan minimum. Saya
sangat kagum kuadrat dengan teori Yohanes Surya “Carikan saya anak yang paling
bodoh dari Papua, akan saya jadikan ia pemenang olimpiade”. ”Tidak ada anak
yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari
guru yang baik dan metode yang benar.”
Saya tidak sanggup seperti itu. Gak lama
lagi mungkin akan angkat bendera putih. Give up, lanjut plan B : pulang kampung
menikah dengan gadis desa yang tidak banyak tuntutan, bertani, punya anak,
meninggal. Atau kemungkinan terburuk: dipecat yayasan, disuruh bungkus baju.
Poor I am.
Berikan kesabaran Tuhan! Tanahmu luas.
Jika pekerjaan ini tepat untuk saya, berikan kemudahan. Jika pekerjaan ini
hanya menambah dosa, menyakiti perasaan yang berujung neraka, berikan aku
pekerjaan yang lebih tepat ya Rabb! Mudahkan rezekiku, agar baktiku ke orangtua
lebih besar lagi. Yassir kullah.....!
Distrik XX, Batam, April 29th, 2016 at. 10.29
P.M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar