Jumat, 29 April 2016

Murid Bandel, Guru Malas dan Cita-cita yang Tak Sampai









Saudaraku! Saya gak tahu kenapa saya perlu menulis ini. Di kota keras ini susah mendapatkan teman curhat. Ini saya meminta obat hati. Saya mengajar di sebuah yayasan berlabel Islam di salah satu sudut kota Batam nan padat. Instansi yang memang pernah saya impikan. Semoga catatan kecil ini tidak membuat saya dipecat.
Saya terdiam 30 menit memikirkan makna mendalam sebuah kutipan berbahasa Inggris di halaman facebook tadi malam. Kata-katanya seperti ini “If a drop of water falls on a Lake, its identity is lost. If it falls on Lotus leaf, it shines like a Pearl. Drop is the same; but the company matters”. Artinya kurang lebih seperti ini; Jika setetes air jatuh di atas sebuah danau, ia akan sirna tak berarti. Jika ia jatuh di atas daun teratai, ia akan bersinar seperti mutiara. Tetesannya sama, tapi tempat jatuhnya yang menjadikan keduanya berbeda.
Ini mengindikasikan kalau siapapun bisa lebih bersinar dan berkarya lebih jika ia bekerja sesuai kualifikasi keilmuannya dan ditempatkan di lingkungan yang sesuai karakternya. Dan dia enjoy, hasilnya pasti maksimal.
Saya mungkin bisa jauh lebih dihargai jika bekerja di instansi lain. Saya mungkin bisa dianggap guru dengan posisi benar-benar guru, pendidik dengan tempat yang memang layak ia tempati. Saya tidak berbicara income sekarang. Yang saya maksudkan adalah selfesteem, penghormatan secara attitude. Kalaulah saya sepenuhnya mencari uang, jelas guru bukanlah daftar profesi menjanjikan. Secara income memang sudah lama saya dapatkan sindiran tajam dari sahabat-sahabat yang mungkin hanya lulusan SMA atau bahkan SMP. Gaji mereka jauh berlipat ganda dari yang saya peroleh. “Masa S1 dibayar segitu?”, kata mereka. Ini Batam lho. But I still keep calm. Mereka lucky dan berbakat jadi orang kaya. Dalam catatan saya, mengajar adalah pekerjaan yang ideal untuk orang sekerdil saya. Saya tidak cukup bijak berbisnis, apalagi kerja under pressure. Tapi,,,,,,,,,
Tapi, iya tapi yang ini jauh dari kata tertekan. Yayasan menuntut guru-gurunya untuk bekerja penuh. Di samping itu saya juga lama-lama muak dengan anak didik yang tidak tahu tata krama. 3 minggu terakhir ini saya mengajar additional class untuk employee pada malam hari. Yayasan tidak mengizinkan secara tertulis. Peserta didik saya  itu adalah karyawan perusahaan yang memiliki uang berlebih. Usia mereka semuanya di atas saya. Belajar bahasa Inggris untuk meningkatkan posisi mereka di perusahaan. Minggu lalu seusai pembelajaran ditutup saya persilakan mereka terlebih dahulu untuk keluar sementara saya harus membersihkan tangan karena ada sedikit tinta boardmarker. Mereka bukannya pulang malah ribut di luar. “what’s going on?” tanya saya. Seorang wanita menjawab ini si “Xyxy” memuji-muji Mister terus, katanya Mister berbakat sekali untuk jadi tenaga pengajar. Kami maunya belajar sama Mister terus setiap pertemuan, bukan Conversation Class aja. Apa ini? Kan saya gak bisa. Nanti saya dipecat yayasan saya gimana. Mereka memuji dan mengangkat saya habis-habisan. Ahhh... Pujian itu 11 VS 12 dengan jurang. Mama saya tiap hari lagi mujinya. But overall Alhamdulillah, ternyata masih ada yang membutuhkan saya. Kalau saja kalian tahu, saya tidak mau berjumpa dengan kalian. Tidak suka bicara hingga berbusa yang berujung sia-sia. Saya tidak suka mengajar, belum cukup ilmu saya. Masih ingin lanjut Master program. Tapi keadaan berbicara lebih banyak.  
Berbeda 180 derajat dengan yang saya alami di sekolah formal. Di sekolah saya tidaklah begitu dihargai. Dicap guru killer. Perhatian dan kasih sayang saya disalah artikan. Apalagi ini sistem Boarding, mereka sudah saya anggap seperti keluarga. Kenapa akhlaknya malah lebih buruk dibandingkan sekolah yang tidak mengenal agama. Saya mencintai dan menyayangi mereka, namun tak pernah berbalas. Mencintai itu kewajiban, dicintai itu opsional. Tidak sengaja dengar dari dalam Lab percakapan dua siswa “kau baik-baik, nanti pak Zul marah baru kau tahu, kalau belum tahu kan kalau pak zul marah, aku aja takut padahal aku dengarnya dari luar di kelas III kemarin pokoknya ngerilah.” Saya dudukkan sebentar, ajak hati untuk kompromi. Terulang ketika ada beberapa kelas yang menolak saya untuk menggantikan guru di Pekanbaru dulu. Sudah tak terhitung berapa kali saya mengusir siswa dari kelas ketika sedang menerangkan. Puncak kemarahan saya adalah kamis 2 hari yang lalu. Padahal kami sedang berpuasa sunah. Setan saya besar, gemetar badan saya pengen melayangkan tangan ini ke wajahnya. Dalam hati menangis, kenapa anak itu bisa berkata tidak senonoh kepada gurunya. Perlakuan ke saya memang sedikit berbeda, saya tidak tahannya ketika mereka melawan guru-guru yang sudah berumur hampir setengah abad.  
Saya memiliki sahabat akrab ahli Matematika, pemenang Olimpiade Sains yang sudah melanglang buana keliling Indonesia, dan yang paling saya kagumi adalah beliau hafal Qur’an. I just guess it. Tapi ayat Qur’an manapun yang saya ceritakan dan bacakan, dia nimbrung begitu saja. Ia adalah orang tercerdas yang pernah kenal selama saya hidup. Saya bahkan ragu kalau dosen, guru atau barisan ilmuan lebih cerdas dari beliau. Saya sudah lama tidak menanyakan kabarnya. Terakhir kali dia mengatakan kalau dia akan lanjut S2 di Institut Teknologi Bandung, kampus yang mungkin tidak akan pernah saya nikmati. Hanya saja beasiswanya belum keluar hingga hari ini. Saya heran kenapa tidak ada pihak yang membiayainya. Padahal ia adalah lulusan terbaik sekaligus Cumlaude di angkatan saya. Dia saja tidak dapat schoolarship, apalagi saya ya. Dia mengeluhkan bagaimana kondisinya sebagai tenaga pengajar. Ia akui kalau ia tidak sanggup mengajar orang-orang dengan level beginner atau intermediate. Ia hanya bisa mengajar level advance, siswa-siswi yang biasa bergelut dengan Olimpiade. Inilah yang terjadi dengan saya saat ini. Bukan karena sombong atau apa. Saya mulai sadar kalau saya bukanlah guru yang bijak. Saya ternyata hanya bisa mengajar orang-orang yang bisa diajak belajar. Ini tidaklah dibenarkan. Saya tidak punya jurus ampuh atau trik jitu untuk membuat anak pemalas, anak bandel atau pembangkang kelas kakap belajar dengan benar. Saya sangat tidak terima ketika materi yang saya ajarkan tidak mampu dicerna anak saya. Saya emosi ketika mereka kerap kali mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan marah besar ketika skor mereka tidak sanggup mencapai ketuntasan minimum. Saya sangat kagum kuadrat dengan teori Yohanes Surya “Carikan saya anak yang paling bodoh dari Papua, akan saya jadikan ia pemenang olimpiade”. ”Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar.”
Saya tidak sanggup seperti itu. Gak lama lagi mungkin akan angkat bendera putih. Give up, lanjut plan B : pulang kampung menikah dengan gadis desa yang tidak banyak tuntutan, bertani, punya anak, meninggal. Atau kemungkinan terburuk: dipecat yayasan, disuruh bungkus baju. Poor I am.
Berikan kesabaran Tuhan! Tanahmu luas. Jika pekerjaan ini tepat untuk saya, berikan kemudahan. Jika pekerjaan ini hanya menambah dosa, menyakiti perasaan yang berujung neraka, berikan aku pekerjaan yang lebih tepat ya Rabb! Mudahkan rezekiku, agar baktiku ke orangtua lebih besar lagi. Yassir kullah.....!




                               Distrik XX, Batam, April 29th, 2016 at. 10.29 P.M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(A)B,C,D. (Allexyndary) Betaemeis, Calvicentura & Damixoverty

Apa kabar? Semoga tetap dalam limpahan rahmat-Nya. Beberapa waktu lalu saya diminta untuk menghapus tulisan di media sosial d...