Selamat datang di “Sekolah Robot Nasional”.
Tulisan gerbang mewah bernilai hampir satu Milyar itu dengan gagahnya menyambut
pengunjung dan siswa/i tercerdas di negeri ini. Bagaimana tidak, 13.414 calon
siswa nasional bersaing merebut 2.515 kursi. Hebatnya lagi, sekolah kami hanya
menerima 96 siswa saja. That’s epic. Angka fantastic bukan? Belum cukup gan,
sekolah ini juga membuka jalur seleksi Internasional untuk anak
berkewarganegaraan asing. Segitunya ya?
Mundur
sedikit bro. Tepatnya sekitar pertengahan Desember 2014 lalu, saya memulai percakapan sederhana dengan
adek Sisingamangaraja XIV. “Dek! Kebayang gak sih kalau setelah wisuda abang mengajar di
sebuah pesantren di pelosok negeri, lalu menikah dengan putri kyainya?” Dia menjawab dengan sedikit
tawa menggelikan “haha Habislah abang. Sampai akhir hayat di sanalah itu”.
Ok done, selesai sudah….. Ini mungkin kilas balik percakapan sekaligus do’a
hari itu.
Perkenalkan bray, sekarang saya mengabdi di salah satu sekolah
bergengsi di negeri ini. Gedung sekolahnya berdiri kokoh di antara resort dan
lapangan golf ternama di ujung pulau segitiga emas ekonomi nasional. Menang
lomba adalah makanan kami sehari-hari. Bosan mendengarnya. 80% anaknya fasih
berbahasa Inggris dan 40% lagi lancar berbahasa Arab. Tidak sedikit juga yang
mahir bahasa Jepang, Korea, Mandarin, Russia bahkan Spanyol dan Hebron.
Gila.....
Golden ticket masuk UGM, ITB, UPI,UIN, IPB sudah mereka genggam
meski baru duduk di kelas X dan XI. Beberapa anak juga terpillih
untuk mengikuti simulasi kegiatan Model United Nations (PBB) di Korea Selatan,
Kuala Lumpur, Singapore dan Thailand. Satu anak juga lulus pertukaran pelajar
di USA. Komiknya juga tembus Internasional. Ahh… tak terhitung
jari.
Lanjut lagi, mereka juga memenangkan olimpiade
matematika yang di adakan di kota kami. Sekolah-sekolah bergengsi bertaraf
Nasional dan Internasionalpun habis mereka sapu. Beberapa hari lalu tiga anak
juga masuk finalis lomba yang digelar Otoritas
Jasa Keuangan. Ya, dalam waktu dekat mereka akan visit kantor Google Indonesia. Insane.... kalau barometernya adalah
provinsi, sekolah robot ini adalah sekolah terbaik.
Iya, sebagian besar mereka adalah siswa yang
rata-rata memiliki IQ di atas 120 alias otak Superior. Ada juga yang
mengalahkan kecerdasan Napoleon Bonaparte dan Adolf Hitler. Karena ada 2 anak
yang sampai 145, Genius. Sudah cerdas, hafal delapan juz Qur’an lagi. Saya
memanggilnya Mr. Crack. Hitam kecil, berpenampilan apa adanya. Dia juga ada di
balik pembuatan pesawat Habibie R80. Ha? Masa? Iya bro. Sekolah kami diundang
di Habibie Festival beberapa waktu lalu. Sempat berfoto juga dengan anaknya,
Ilham Habibie.
Sudahlah,,, yang jelas
tiap hari saya semakin bertambah cerdas di sini karena berteman dengan anak-anak
superior. Melihat anak-anak china sibuk menghafal Al-Qur’an dan fasih berbahasa
surga adalah pemandangan biasa di sini. Akhir tahun lalu mereka jugalah yang
mengantarkan saya untuk masuk jajaran calon guru begelar profesional di
Surabaya. Sebenarnya persyaratan program ini haruslah berpengalaman minimal 12
tahun mengajar. But, apapun bisa terjadi di sekolah Robot kami.
Itu sedikit cerita
bahagianya. Sekarang kita masuk ke dalam sekolah lewat pintu belakang. Kita
adalah sekolah robot, diatur rapi sedemikian rupa oleh Nasional. Bangun jam
03.30 a.m, tidur jam 11.00 p.m. Tahajjud dan Dhuha adalah wajib bagi kami. Berangkat sekolah pukul 06.40, selesai pukul
17.15. waktu istirahat hanya 15 menit. Tidak ada waktu bercanda, rendah nilai
langsung klinik dengan guru yang bersangkutan. Kira-kira nilai tidak
terselamatkan, di akhir semester siswanya akan dikeluarkan. Cool..... Kompetisi
sesama mereka tinggi sekali. Ada tidak ada guru sama saja. Mereka pasti belajar
dengan tenang, karena CCTV menangkap dari setiap koridor sekolah. Tidur dan
terlambat ke sekolah dan Masjid langsung diberi point. Semua dihantui oleh
point dan point.
Saya saja, merasa seperti
membina robot. Robot yang tidak pernah capek, dan tidak berperasaan. Mereka
tidak sempat bergurau dan bercanda. Pacaran dan kenakalan anak sekolah pada
umumnya tidak ada di kami. Juara umum di SMP, di sini paling keras hanya dapat
ranking belasan dan dua puluhan.
Seringkali saya mendapati
anak termenung bahkan menangis karena tidak mampu bersaing di kelasnya, dan
takut memalukan orangtua jika dikeluarkan. Standar dan tuntutan kurikulum yang
overload. Ego anak-anak pintar tinggi sekali. Mereka tidak ada waktu mengajari
yang lambat sedikit di belakang mereka. Target kami dipatok jelas, harus
menjadi sekolah unggulan Nasional dengan rata-rata UN tertinggi.
Alhasil, sebagai pemerhati
pendidikan saya merasa iba dan cemas. Semua bisa berujung stress dan berontak.
Kurikulum ini menghasilkan anak-anak robot cerdas yang ditempa untuk selalu
berargumen dan berdebat. Hal yang paling saya takutkan lagi, mereka juga nanti
bisa complain dan berdiplomasi kasar kepada guru dan orangtua mereka. Tentu
akan berakibat “durhaka”. Parah... bibitnya sudah ada. Darurat akhlak. Naudzu
billah. Ya mau dibilang apa, anak DPR, bupati, walikota dan pejabat penting
bersekolah di sini. Tinggal anak
Presiden saja yang belum ada. Sebagian besar orangtua memaksa agar anak mereka
dapat nilai setinggi langit, berbanding lurus dengan tuntutan kurikulum.
Lengkap sudah. Keluarga kaya tentu menginginkan punya keturunan yang cerdas
kuadrat. Gengsi lebih sering diutamakan. Keberhasilan anak hanya diukur melalui
angka-angka raport semata. Tolonglah,,,! hati robot-robot itu berteriak tak
tersampaikan.
Pak Menteri!!! Kenapa
kurikulum kita begini? Tolong pikir sepuluh kali lagi! Kami bukan guru robot
dan juga bukan siswa robot. Kami punya lelah, punya hati dan perasaan yang
harus diekspresikan.
Kalau boleh bicara hati,
robot-robot ini mungkin tak mau berlama-lama di sini. Terlalu padat dan
menyesakkan dada. Sebagai pembina robot saya juga sering terpikir untuk beralih
profesi. Jujur kadang tak kuat, karena memang belum ada penguat hati. Aduhh… lari dari topik
ini. Banyak pertimbangan ini dan itu. Saya sudah seringkali pindah kerja.
Memang manusia itu tak ada puasnya ya. Di tanah manapun pasti ada Muhammad dan
Abu Jahalnya. Ya Allah, hati ini sudahlah. Gaji adalah nomor sekian, yang
terpenting adalah hati sejalan dengan pekerjaan. Sebenarnya Desember kemarin
sudah bulatkan tekad untuk kerja di kampung. Rencana hidup bersama orangtua di
hari senja mereka sudah saya pikirkan matang-matang. Mereka adalah prioritas
utama.
Moreover, tawaran kerja sekolah Sains Qur’an
di bumi Lancang Kuning, menjadi pemicu pula untuk pindah tugas. Lagian, sekolah robot kami butuh pendidik yang berpendidikan
Master. Kalau S1 mah, gak lama lagi akan di DO. Kind of. Intinya, sekarang lagi mencoba cari kerja. Ahh
apa lah? Ini hati maunya apa sih? “Ngulanjak”, kata orang Lampung. Tapi sampai
kapan? Stuck under pressure, guys.
Ya udahlah pulang kampung aja lagi besok.
Menikah dengan gadis desa yang tidak banyak tuntutan. Orang pintar itu kesannya
hanya ahli membodohi sekitar. Orang jujur itu, orang yang tidak sekolah. Dulu,
saya sangat hormat dan hargai orang-orang pintar, cerdas. Dewasa ini saya jauh
lebih memuliakan orang-orang baik. Cukup ini saja dulu, robot-robot mengajak untuk sama-sama isi
daya. Baterai dah habis.
Hang Lekiu, at 07.51 PM, March 12, 2018
i like your opinion
BalasHapusContent contains quality lessons...
BalasHapusIf everyone hears the screams of the hearts of robots,There will no longer be masters and slaves...
mantap ustadz :)
BalasHapushalo ustad
BalasHapus