Senin, 31 Oktober 2016

SERING KE MERLION, BELUM PERNAH KE MONAS



           
Jauh-jauh hari sebelum lulus, kawan lama mengajak aku untuk mengikuti jejak mereka ke pulau seberang tepat di ujung selat Malaka. Kami sangat akrab sejak duduk di bangku SMP dulu, terus ketemu lagi saat melanjutkan studi di perguruan tinggi yang sama di kota Pekanbaru. Hanya saja saya tertinggal setahun lagi-lagi karena masalah yang sangat klasik, ekonomi. Sahabat saya itu namanya Ibrahim, berkulit hitam pekat lulusan Teknik Industri. Satu lagi bernama Halim sang fotografer berbadan kecil kurus hampir tak berdaging. Keduanya punya income yang lumayan besar untuk setiap bulannya. Mereka yang menjadi tujuan saya ke kota ini.
 Malang nasib. Dua bulan berlalu tak ada satupun panggilan kerja yang saya terima. Sudah mulai bosan tinggal di kota sejuta ruko ini. Kota yang dibisingkan dengan suara mesin dan suara gesekan duit kertas. Kota yang tidak menyisakan kebaikan dan keramah tamahan. Kota yang tidak membedakan antara siang dan malam. Aku tinggalkan kampung halaman demi kampung yang jauh dari kata aman. Aku tinggalkan kota awan nan bertuah, demi rezeki yang belum pasti tercurah. Aku acuhkan tawaran kerja di Pekanbaru demi kerja yang tak bertumpu. Aku tinggalkan cerita indah demi cerita susah yang belum terarah.
Bingung dan bodoh kuadrat pangkat kubik. Indeks prestasi kumulatif yang aku banggakan waktu kuliah dulu tak ada gunanya di sini. Saya tantang mereka dengan bahasa Inggris dan Arab. Heran, mereka malah meminta saya untuk berbahasa Mandarin berlogat Hokian. Saya sapa mereka dengan sastra kebaikan, mereka menjawab dengan kejamnya bahasa Akuntansi dan Teknologi.
Memang susah. Terakhir aku ikut antrian panjang di PT Sumitomo kawasan Muka Kuning. Ampun! Yang melamar sekitar 1.400 orang, sementara yang akan diterima hanya dua puluh orang saja. Peluang untuk masuk itu kecil sekali. Itupun kalau lamaran saya dibaca. Kadang termenung sendiri kenapa saya bisa terdampar di pulau berawa dan berbukit ini. Padat merayap tak terkendali, rawa ditimbun, bukit diratakan. Sempat terpikir untuk pulang kampung, terlanjur ktp sudah berdomisili Batam.
 Pagi menjelang siang Ibrahim pulang kerja sambil marah-marah bicara tak jelas.
“Kenapa?” tanyaku.
“PT  merumahkan kami semua”, lanjutnya.
“Dikasih rumah gitu ya?” lanjutku dengan polosnya. Maklumlah pengetahuan bisnis saya awam sekali.
  “Aduhhh... bukan, gak ada produksi kapal lagi, alamat gak digaji.”
“Kok gitu?” tanyaku makin penasaran.
“Udah perjanjian kontrak dari awal,” sambungnya singkat.
“Mana adek mau bayar kuliah lagi,” dia bicara sambil merebahkan badannya.
“Yang sabar ya Ibrahim!” kucoba menenangkan pikirannya.
 Dia cepat bergegas masuk rumah saat lihat Halim datang.
            “Biar aja,” Halim ngerocos.
“Kamu kenapa lagi? gak boleh gitu Lim”.
“Kamu gak tahu, seminggu sebelum kamu datang ke sini dia menghilangkan duit saya 47 juta”.
What?”
“Kamu pasti gak percaya kan. Tapi memang iya, sumpah. Dia orangnya ceroboh.    Masa beli nasi di warung sebelah, pintu depan gak dikunci. Ya raib lah”.
“Ooo... begitu, kok aku gak dikasih tahu? Kamu juga ngapain nyimpan duit segitu banyak di kamar, itu duit juga buat apaan?  Kan bisa di simpan di Bank”.
“Itu uang mau dikirim untuk hantaran nikah, orangtua juga gak punya rekening. Malangnya nasibku kawan. Alamat lama menikah, padahal uang itu hasil yang aku kumpul dua tahun terakhir ini dzul.”
Tiba-tiba ia menangis terisak. Aku peluk dia erat. Isakan tangisnya makin jelas.
“Aihhh udah, Insya Allah diganti nanti. Ikhlaskan! Mungkin ada hikmahnya menunda menikah.”
“Ntahlah dzul. Aku marah betul sama Ibrahim sejak  hari itu, mau dilaporkan ke polisi juga akan sia-sia. Siapa yang mau dituntut.”  
“Kita jalan-jalan yuk”.
“Wahhh good idea Lim. Suntuk benar aku tiga bulan ini, sebentar aku ambil peta dulu ya.”
“Haha ini zaman GPS bro.”
“Kemarin aku beli di Panbil Mall, kan sayang gak dipakai.”
“Iyalah, cepat sikit!”
 Kita melancong menyusuri sudut kota, mengukur jalan, dan menyaksikan langsung bentuk kota terbesar di Kepulauan Riau ini. Harus aku akui kalau tata kota Batam ini memang beda dengan kota lain. Gak ada banjir, gak ada macet (kadang). Jalan mulus dan lebar, hutan yang dijaga, lokasi pemukiman dan industri juga ditempatkan khusus. Sepanjang jalan yang keluar dari mulut saya hanyalah kata wahhh..... Kota yang di gagas BJ Habibie ini tidak akan ditemui tiang dan kawat listrik yang gentayangan di atas jalan, terutama sekitar pusat kotanya.
“Jakarta begini gak ya?” tanyaku.
“Tanya aja pada roda motor yang berputar, gua kagak pernah ke sana,” jawab Halim.
“Main layangan di Batam ini seru dzul, gak akan nyangkut di kabel listrik kok, palingan masuk cerobong asap pabrik atau jatuh ke laut.”
“Hehe segitunya ya.”
 Tak terasa udah sampai landmark kota, jembatan Barelang. Kokoh dan kesan mewah nampak jelas dari kawat-kawat penyangga yang sangat besar.
Halim melanjutkan ceritanya, tutur bahasanya jelas seolah tour guide.
“Walaupun kita punya banyak duit, tapi tetap saja kita gak bisa beli tanah di sini. Kita hanya diberi hak pakai, bukan hak milik. Inilah yang dikelola oleh Otorita Batam, tengoklah simbol itu,” dia menunjukkan saya tulisan timbul Otorita Batam di tiang jembatan.
“Tapi udah diganti, sekarang namanya Badan Pengusahaan Batam.”
“Oh gitu,”aku mengangguk saja.
“Ada istilah UWTO (uang wajib tahunan otorita), biasanya per tiga puluh tahun kalau gak salah. Jadi kalau kita ingin tetap tinggal setelah 30 tahun, kita harus perpanjang pajaknya juga. Harga pajak tanah pastinya juga bervariasi, tergantung bangunan yang akan dibangun diatasnya. Di kawasawan industri lumayan mahal, kawasan bangunan sosial seperti sekolah, masjid dan rumah ibadah lainnya murah.
“Gak ada yang gratis ya?” tanyaku sembari tertawa.
“Ada.”
“Di mana? Aku maulah 50m persegi.”
“Itu tanah yang di bawah jembatan,” ia menunjuk ke bawah. “Dasar... cari yang gratis aja.”
“Lho kan aku cuma nanya.”
“Nanya ja terus, kubuang kau ke bawah.”
“Aih kejamnya kawan.”
 “Haha,” lanjutnya. “Oh iya, mulai besok siang aku gak tinggal di tempat kita lagi.”
What?”
“Jangan gitu kali mukanya bro, santai.”
 What about me?” seruku.
“Mau ikut gak? Gak sanggup bayar lagi. Kita pindah ke kavling yuk. Kebetulan rumah itu kakak yang punya, tapi belum siap semua, baru satu kamar yang selesai.”
“Ya gak apa. Ibrahim gimana?”
 “Terserah. Dia mau pulang kampung saya dengar. Udahlah... ngapain urusin dia.”
 “Aku gak mau lah kalau dia gak ikut.”
 “Udah tenang aja, dia juga mau ngekos di Batu Aji saya dengar.”
Alhasil kita mulai angsur barang ke Kav. Sungai Lekop, ya mau gimana lagi saya juga terpaksa ikut. Mau bayar kos juga saya gak punya uang sedikitpun. Setelah semua beres kita istirahat sejenak di depan rumah. Sedikit mulai ngantuk, eh dikejutkan suara ibu-ibu tetangga yang pulang dari pengajian .
“Memang yang punya rumah itu pembohong,” seorang Ibu memecah kesunyian. “Kalau masih tinggal di Batam ini saya tuntut sampai ke Pengadilan.” 
Aduhh... ini masalah lagi jangan-jangan. Ternyata benar. Ketika Halim mau masukkaan air ATB (Adhya Tirta Batam) ke rumah, kata petugas surat rumah kami ini tidak terdaftar di BP Batam. Si Halim bingung dan marah-marah. Memang brengsek, pihak pertama yang menjual rumah ke kakak Halim cuma mikir duit. Surat tanahnya palsu, jadi pihak ATB tidak bisa masukkan air. Masalah ini juga yang diributkan tetangga kemarin. Untung saja urusan di kantor BP Batam semua berjalan lancar. Alhamdulillah bisa mandi.
“Tuut tuuuuuut tuuuuuuuuuttt,” hape jelek saya berdering.
May I speak to Mr. Zulkhoir Siregar?
“Yes, I’m speaking,” jawabku gemetar.
“Your application is accepted by our Manager. We need to interview you in our office tomorrow morning at 07.30 a.m. Can you attend it?”
 “Sure, I’ll be there on that time.”
Thank you Sir,” telepon terputus.
 “Yes...”  teriakku kuat.
“Who are you talking with?” tanya Halim.
“Ah gak usah bahasa Inggris  juga lah bray. Hmmm,,,, aku kan ada antar lamaran ke tour travel di Batam Centre, dan aku diminta datang besok pagi jam 07.30.”
“Mantaplah, saya udah yakin kamu diterima.”
“Amiin.”


Alhamdulillah... tidak banyak proses. Hanya interview bahasa Inggris sekitar satu jam, saya langsung dinyatakaan diterima dan mulai kerja besok. Bukan hanya itu saja, besok bahkan langsung ke Singapura. Masalah passport sudah beres sama pihak perusahaan. Wauu... saya akan lihat langsung Merlion, Universal Studios dan Garden by the Bay.
Tak sabar menunggu hari esok, tidurku pun tak nyenyak, sarapan pagipun aku lewatkan. Kalimat syukur kepada Tuhan kerap kali terucap dari bibir ini. Hanya butuh sekitar 45 menit kita sudah sampai di Singapura, dibekali dengan peta wisata aku berlagak seperti tour guide profesional. Aku dan dua rekan lainnya memandu 23 wisatawan yang berasal dari berbagai daerah yang dijaring melalui internet. Kerjanya tidaklah sulit, modal bahasa Inggrisku yang sedikit lebih baik dari rekan lainnya memaksa aku tuk berjalan di depan apalagi berhadapan dengan security tempat wisata. Harus lihai melobi agar budget seramping mungkin. Dan ternyata aku bisa.
Minggu depan juga ada tour yang sama. Kali ini aku mau mengajak Halim, biar dia bisa ambil foto saya di Merlion dengan kualitas terbaik. Biar kesannya keren. Diam diam aku juga memberikan tiket kapal gratis kepada si Ibrahim. Aku ingin memberikan kejutan kepada mereka.
Persis seperti yang direncanakan, aku pertemukan Halim dan Ibrahim tepat di depan patung Merlion. Ibrahim datang meminta maaf seraya tersungkur. Air mata kami bertiga tak terbendung. Kami menangis bersama. Orang-orang melihat kami acuhkan saja. Alhamdulillah kami akur kembali.
Tak lama berselang, dua orang turis berkebangsaan Thailand menghampiri Ibrahim. Dia mengarahkan keduanya ke arah saya karena gak bisa jawab. Mereka mau tahu apakah Monas seramai di Merlion, karena mau dijadikan background pre-wedding.
Maybe,” aku jawab singkat.





                                                                        Distrik XX, Nov 01, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(A)B,C,D. (Allexyndary) Betaemeis, Calvicentura & Damixoverty

Apa kabar? Semoga tetap dalam limpahan rahmat-Nya. Beberapa waktu lalu saya diminta untuk menghapus tulisan di media sosial d...