Jauh-jauh hari sebelum lulus, kawan lama mengajak aku untuk mengikuti jejak mereka ke pulau seberang tepat di ujung selat Malaka. Kami sangat akrab sejak duduk di bangku SMP dulu, terus ketemu lagi saat melanjutkan studi di perguruan tinggi yang sama di kota Pekanbaru. Hanya saja saya tertinggal setahun lagi-lagi karena masalah yang sangat klasik, ekonomi. Sahabat saya itu namanya Ibrahim, berkulit hitam pekat lulusan Teknik Industri. Satu lagi bernama Halim sang fotografer berbadan kecil kurus hampir tak berdaging. Keduanya punya income yang lumayan besar untuk setiap bulannya. Mereka yang menjadi tujuan saya ke kota ini.
Malang nasib. Dua bulan berlalu tak ada
satupun panggilan kerja yang saya terima. Sudah mulai bosan tinggal di kota
sejuta ruko ini. Kota yang dibisingkan dengan suara mesin dan suara gesekan duit
kertas. Kota yang tidak menyisakan kebaikan dan keramah tamahan. Kota yang
tidak membedakan antara siang dan malam. Aku tinggalkan kampung halaman demi
kampung yang jauh dari kata aman. Aku tinggalkan kota awan nan bertuah, demi
rezeki yang belum pasti tercurah. Aku acuhkan tawaran kerja di Pekanbaru demi
kerja yang tak bertumpu. Aku tinggalkan cerita indah demi cerita susah yang
belum terarah.
Bingung
dan bodoh kuadrat pangkat kubik. Indeks prestasi kumulatif yang aku banggakan
waktu kuliah dulu tak ada gunanya di sini. Saya tantang mereka dengan bahasa
Inggris dan Arab. Heran, mereka malah meminta saya untuk berbahasa Mandarin
berlogat Hokian. Saya sapa mereka dengan sastra kebaikan, mereka menjawab
dengan kejamnya bahasa Akuntansi dan Teknologi.
Memang
susah. Terakhir aku ikut antrian panjang di PT Sumitomo kawasan Muka Kuning.
Ampun! Yang melamar sekitar 1.400 orang, sementara yang akan diterima hanya dua
puluh orang saja. Peluang untuk masuk itu kecil sekali. Itupun kalau lamaran
saya dibaca. Kadang termenung sendiri kenapa saya bisa terdampar di pulau berawa
dan berbukit ini. Padat merayap tak terkendali, rawa ditimbun, bukit diratakan.
Sempat terpikir untuk pulang kampung, terlanjur ktp sudah berdomisili Batam.
Pagi menjelang siang Ibrahim
pulang kerja sambil marah-marah bicara tak jelas.
“Kenapa?” tanyaku.
“PT merumahkan kami semua”, lanjutnya.
“Dikasih rumah gitu ya?” lanjutku dengan
polosnya. Maklumlah pengetahuan bisnis saya awam sekali.
“Aduhhh... bukan, gak ada produksi kapal lagi,
alamat gak digaji.”
“Kok
gitu?” tanyaku makin penasaran.
“Udah
perjanjian kontrak dari awal,” sambungnya singkat.
“Mana
adek mau bayar kuliah lagi,” dia bicara sambil merebahkan badannya.
“Yang
sabar ya Ibrahim!” kucoba menenangkan pikirannya.
Dia cepat bergegas masuk rumah saat lihat
Halim datang.
“Biar
aja,” Halim ngerocos.
“Kamu
kenapa lagi? gak boleh gitu Lim”.
“Kamu gak tahu, seminggu sebelum kamu datang ke sini dia
menghilangkan duit saya 47 juta”.
“What?”
“Kamu pasti gak percaya kan. Tapi memang iya, sumpah. Dia orangnya ceroboh.
Masa beli nasi di warung sebelah,
pintu depan gak dikunci. Ya raib lah”.
“Ooo... begitu, kok aku gak dikasih tahu? Kamu juga ngapain nyimpan
duit segitu banyak di kamar, itu duit juga buat apaan? Kan bisa di simpan di Bank”.
“Itu uang mau dikirim untuk hantaran nikah, orangtua juga gak punya
rekening. Malangnya nasibku kawan. Alamat lama menikah, padahal uang itu hasil
yang aku kumpul dua tahun terakhir ini dzul.”
Tiba-tiba
ia menangis terisak. Aku peluk dia erat. Isakan tangisnya makin jelas.
“Aihhh udah, Insya Allah diganti nanti. Ikhlaskan! Mungkin ada
hikmahnya menunda menikah.”
“Ntahlah dzul. Aku marah betul sama Ibrahim sejak hari itu, mau dilaporkan ke polisi juga akan
sia-sia. Siapa yang mau dituntut.”
“Kita jalan-jalan yuk”.
“Wahhh good idea Lim. Suntuk benar aku tiga bulan ini, sebentar aku
ambil peta dulu ya.”
“Haha ini zaman GPS bro.”
“Kemarin aku beli di Panbil Mall, kan sayang
gak dipakai.”
“Iyalah, cepat sikit!”
Kita
melancong menyusuri sudut kota, mengukur jalan, dan menyaksikan langsung bentuk
kota terbesar di Kepulauan Riau ini. Harus aku akui kalau tata kota Batam ini
memang beda dengan kota lain. Gak ada banjir, gak ada macet (kadang). Jalan
mulus dan lebar, hutan yang dijaga, lokasi pemukiman dan industri juga ditempatkan
khusus. Sepanjang jalan yang keluar dari mulut saya hanyalah kata wahhh..... Kota
yang di gagas BJ Habibie ini tidak akan ditemui tiang dan kawat listrik yang
gentayangan di atas jalan, terutama sekitar pusat kotanya.
“Jakarta begini gak ya?” tanyaku.
“Tanya aja pada roda motor yang berputar, gua
kagak pernah ke sana,” jawab Halim.
“Main layangan di Batam ini seru dzul, gak akan nyangkut
di kabel listrik kok, palingan masuk cerobong asap pabrik atau jatuh ke laut.”
“Hehe segitunya ya.”
Tak
terasa udah sampai landmark kota, jembatan Barelang. Kokoh dan kesan mewah
nampak jelas dari kawat-kawat penyangga yang sangat besar.
Halim melanjutkan ceritanya, tutur bahasanya
jelas seolah tour guide.
“Walaupun kita punya banyak duit, tapi tetap saja kita
gak bisa beli tanah di sini. Kita hanya diberi hak pakai, bukan hak milik.
Inilah yang dikelola oleh Otorita Batam, tengoklah simbol itu,” dia menunjukkan
saya tulisan timbul Otorita Batam di tiang jembatan.
“Tapi udah diganti, sekarang namanya Badan
Pengusahaan Batam.”
“Oh gitu,”aku mengangguk saja.
“Ada istilah UWTO (uang wajib tahunan otorita), biasanya
per tiga puluh tahun kalau gak salah. Jadi kalau kita ingin tetap tinggal
setelah 30 tahun, kita harus perpanjang pajaknya juga. Harga pajak tanah
pastinya juga bervariasi, tergantung bangunan yang akan dibangun diatasnya. Di
kawasawan industri lumayan mahal, kawasan bangunan sosial seperti sekolah,
masjid dan rumah ibadah lainnya murah.
“Gak ada yang gratis ya?” tanyaku sembari
tertawa.
“Ada.”
“Di mana? Aku maulah 50m persegi.”
“Itu tanah yang di bawah jembatan,” ia menunjuk ke bawah. “Dasar... cari
yang gratis aja.”
“Lho kan aku cuma nanya.”
“Nanya
ja terus, kubuang kau ke bawah.”
“Aih
kejamnya kawan.”
“Haha,” lanjutnya. “Oh iya, mulai besok siang
aku gak tinggal di tempat kita lagi.”
“What?”
“Jangan
gitu kali mukanya bro, santai.”
“What about me?” seruku.
“Mau ikut gak? Gak sanggup bayar lagi. Kita pindah ke kavling yuk.
Kebetulan rumah itu kakak yang punya, tapi belum siap semua, baru satu kamar
yang selesai.”
“Ya
gak apa. Ibrahim gimana?”
“Terserah. Dia mau pulang kampung saya dengar.
Udahlah... ngapain urusin dia.”
“Aku gak mau lah kalau dia gak ikut.”
“Udah tenang aja, dia juga mau ngekos di Batu
Aji saya dengar.”
Alhasil
kita mulai angsur barang ke Kav. Sungai Lekop, ya mau gimana lagi saya juga
terpaksa ikut. Mau bayar kos juga saya gak punya uang sedikitpun. Setelah semua
beres kita istirahat sejenak di depan rumah. Sedikit mulai ngantuk, eh
dikejutkan suara ibu-ibu tetangga yang pulang dari pengajian .
“Memang yang punya rumah itu pembohong,” seorang Ibu memecah
kesunyian. “Kalau masih tinggal di Batam ini saya tuntut sampai ke Pengadilan.”
Aduhh...
ini masalah lagi jangan-jangan. Ternyata benar. Ketika Halim mau masukkaan air
ATB (Adhya Tirta Batam) ke rumah, kata petugas surat rumah kami ini tidak
terdaftar di BP Batam. Si Halim bingung dan marah-marah. Memang brengsek, pihak
pertama yang menjual rumah ke kakak Halim cuma mikir duit. Surat tanahnya
palsu, jadi pihak ATB tidak bisa masukkan air. Masalah ini juga yang diributkan
tetangga kemarin. Untung saja urusan di kantor BP Batam semua berjalan lancar.
Alhamdulillah bisa mandi.
“Tuut
tuuuuuut tuuuuuuuuuttt,” hape jelek saya berdering.
“May
I speak to Mr. Zulkhoir Siregar?
“Yes,
I’m speaking,” jawabku
gemetar.
“Your application is accepted by our Manager. We need to interview
you in our office tomorrow morning at 07.30 a.m. Can you attend it?”
“Sure, I’ll be there on that time.”
“Thank
you Sir,” telepon terputus.
“Yes...” teriakku kuat.
“Who
are you talking with?” tanya Halim.
“Ah gak usah bahasa Inggris
juga lah bray. Hmmm,,,, aku kan ada antar lamaran ke tour travel di Batam
Centre, dan aku diminta datang besok pagi jam 07.30.”
“Mantaplah,
saya udah yakin kamu diterima.”
“Amiin.”
Alhamdulillah...
tidak banyak proses. Hanya interview bahasa Inggris sekitar satu jam, saya
langsung dinyatakaan diterima dan mulai kerja besok. Bukan hanya itu saja,
besok bahkan langsung ke Singapura. Masalah passport sudah beres sama pihak
perusahaan. Wauu... saya akan lihat langsung Merlion, Universal Studios dan Garden
by the Bay.
Tak
sabar menunggu hari esok, tidurku pun tak nyenyak, sarapan pagipun aku
lewatkan. Kalimat syukur kepada Tuhan kerap kali terucap dari bibir ini. Hanya
butuh sekitar 45 menit kita sudah sampai di Singapura, dibekali dengan peta
wisata aku berlagak seperti tour guide profesional. Aku dan dua rekan lainnya
memandu 23 wisatawan yang berasal dari berbagai daerah yang dijaring melalui
internet. Kerjanya tidaklah sulit, modal bahasa Inggrisku yang sedikit lebih
baik dari rekan lainnya memaksa aku tuk berjalan di depan apalagi berhadapan
dengan security tempat wisata. Harus lihai melobi agar budget seramping
mungkin. Dan ternyata aku bisa.
Minggu
depan juga ada tour yang sama. Kali ini aku mau mengajak Halim, biar dia bisa
ambil foto saya di Merlion dengan kualitas terbaik. Biar kesannya keren. Diam
diam aku juga memberikan tiket kapal gratis kepada si Ibrahim. Aku ingin
memberikan kejutan kepada mereka.
Persis
seperti yang direncanakan, aku pertemukan Halim dan Ibrahim tepat di depan
patung Merlion. Ibrahim datang meminta maaf seraya tersungkur. Air mata kami
bertiga tak terbendung. Kami menangis bersama. Orang-orang melihat kami acuhkan
saja. Alhamdulillah kami akur kembali.
Tak
lama berselang, dua orang turis berkebangsaan Thailand menghampiri Ibrahim. Dia
mengarahkan keduanya ke arah saya karena gak bisa jawab. Mereka mau tahu apakah
Monas seramai di Merlion, karena mau dijadikan background pre-wedding.
“Maybe,”
aku jawab singkat.
Distrik XX, Nov 01, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar