Jumat, 29 April 2016

AKU INGIN DIPANGGIL MUHAMMAD



Apa kabar Cinta?
Masih sibukkah dengan Tuhanmu?
Sesuai keinginanmu, aku sekarang sudah belajar menulis novel.
Aku bahkan juara 1 ketika ada lomba menulis cerpen antar guru di sekolahku. Awal yang baik bukan?
Semoga dikau sehat selalu di sana.                                                

Pagi itu di SMK Islam Terpadu Darussalam Boarding School 01 Batam.
 Teeeet ...... teeeee........et! Bel berbunyi dua kali. Aku bergegas masuk kelas. Cepat Samuel! Kita masih ada ujian satu lagi lho, seruku.
“Apalah kamu ini Fik, panggil Steven ajalah, biar keren dikit, celoteh Samuel.
Elleehh.....h kamu juga jangan panggil aku Fik! Jelek kali, itu nama hewan. Udah berapa kali aku bilang, gak suka aku.
Hehe...samuel tertawa sedikit meledek. Kita ujian apa? lanjut Samuel.
English, jawabku.
 What? You gotta be kidding me right? I didn’t study last night. Pasti guru baru itu lagi yang ngawas, gak seru.
Mungkin iya juga, I don’t like him, sahutku.
Aku gak suka juga, masa dia manggil aku Samuel, namaku kan Iqbal, eh Steven maksud aku. Kadang bapak itu manggil dengan kata “Abang” lagi. Maksudnya apa coba?
Aku juga, kok kita sama ya? lanjutku.
Uwekkkk... jangan bilang kita jodoh! sambung Samuel.
Kami juga, teriak dua perempuan cantik di belakang saya. Kami dipanggil kakak sama bapak itu.  Namaku kan Cahaya, dipanggil Nidel. Aku Zahra, masa dipanggil Fatimah! Aneh kan. He is really strange.
Ehhh aku gak nanya kalian ya.
Kau ribut kalilah Fik!
Gak usah pakai kata “kau” lah Zahra! Gak sopan kali.
Terserah akulah, mulut mulut aku, wekk.
Dari jauh guru baru itu memanggil kami, “cepat bang!”
Kenapa ya bapak itu suka kali manggil “abang”, atau jangan-jangan bapak guru itu adek saya yang tertukar.  Haha.... kami tertawa bersama-sama. Cepat bang! Cepat kak! Teriakannya makin keras. Hurry up! Udah lewat 10 menit ini.
Huhhhh bising kali guru baru itu, seru Cahaya.
Fatima, Hurry up! Nidel, cepat!  Samuel, Fik!
Kami semua berlarian masuk ruangan ujian.
30 menit saya sudah selesai menjawab semua soal. Soal bahasa Inggrisnya cemen, soal guru baru itu gak menantang kali. Soalnya yang terlalu mudah atau sayanya yang terlalu pintar, ntahlah, saya juga gak tahu. Tutup mata saja saya bisa mengisi semuanya. Ahhh....h.. pasti hasilnya memuaskan.
Done, Fikri? Tanya guru baru itu lagi. Sure. It’s absolutely easy, Sir, jawabku. Jangan panggil aku Fik lah pak! Panggil saya Muhammad pak! Iya bang. Let me try it later. Lho... Kok abang sih pak? Guru baru itu tak mau menjawab lagi. Dikacangin gua, “harga kacang mahal weiii teriakku. Ia hanya tersenyum lirih, sesekali bibirnya bergerak ke kiri. Nampak kali kalau senyumnya gak ikhlas.
Anehhhhh.....hh pikirku.
Saya antarkan kertas ujian ke meja guru baru itu. Aku pasang muka garang tepat di depannya. Mulai hari ini aku gak mau dipanggil dengan sebutan Fik atau abang. Pokoknya bapak harus manggil saya “Muhammad”!
Kalau abang saya panggil Muhammad, gimana dengan temanmu yang satu lagi?
Dia itu namanya Muhammad Iqbal Samuel, tapi lebih senang dipanggil Steven. Saya ini Muhammad Fikri Abdillah.
Gak lah pak, saya mau dipanggil Muhammad juga, Samuel berteriak dari belakang.
Apaan sih Iqbal? Ngerocos aja dari belakang, tuturku lebih keras lagi.
Ok,,, kalau begitu mulai hari ini Fikri bapak panggil Muhammad I, terus si Iqbal bapak panggil Muhammad II. Deal? Ok deal, aku dan Iqbal serentak menjawabnya.
Ada yang mau ganti nama lagi? tanya guru baru itu. Dua perempuan cantik yang aku kagumi selama ini juga ternyata gak mau dipanggil dengan nama pemberian guru baru itu, mereka semuanya ingin dipanggil dengan nama  mereka selama ini. Dasar, bisanya ikut-ikutan aja. Mereka kadang menjengkelkan, tapi tetap aja asyik.
Sore sekitar pukul 04.23 P.M, saya rebahkan badan gemuk saya di atas kasur tebal di asrama. Huhhh.. terbayar sudah penatnya hari ini. Saya akhirnya tertidur pulas.
Tok.... tokkk. Muhammad bangun, ada kawanmu datang! Iya pak, teriakku dari dalam kamar.
Aku bangkit lalu cuci muka dengan pembersih Garnier di kamar mandi ukuran satu kali satu meter itu. Saya cepat-cepat berlari ke Gazebo. Dari jauh aku melihat dua laki-laki sedang duduk di atas motor. Kok wajahnya gak familiar ya, pikirku. Aduhhh gawat....! Itu pasti kawannya si Muhammad II. Ahhhhh,,, kesalnya. Ampun Tuhan! Capek-capek saya bangun ternyata bukan kawan aku.
Kok balik lagi Muhammad I? tanya guru baru itu. Bapak ini apalah, itu bukan kawan aku, itu kawannya Muhammad II. Yaaa I’m Sorry, habis tadinya mereka minta panggilin Muhammad, kirain deh. Iya pak, never mind. Aku lanjutkan tidurku lagi.
 Hey Muhammad II, kawanmu nunggu di sana! Si Iqbal tertawa terpingkal-pingkal.
Tiga hari kemudian sial menimpa aku kembali. Paket kiriman orang tuaku diterima oleh guru baru itu juga. Kali ini bukan aku yang dipanggil. Dia memanggil si Samuel alias Muhammad II. Aku sibuk mencuci baju yang hampir saja dua baskom banyaknya. Usai mencuci aku hampiri guru baru dan Muhammad II di Gazebo. Ada bekas makanan di tengah mereka berdua. Tupperware berwarna orange itu tak asing di mata saya. Itu sepertinya kiriman bunda saya.
Lho, kiriman saya kok dimakan sih Pak? Kamu juga Muhammad II. Si Muhammad II dan guru baru itu tertawa terbahak-bahak.
Saya kira ini kiriman untuk saya Muhammad I, It’s not my fault, ma’af ya, lanjut Muhammad II.
Iya Muhammad, tadi tulisannya “for Muhammad” gak ada tulisan I atau II nya. Ya si Samuel ngajak saya makan, ya habis deh.
Aduh......hhh Kali ini saya sakit hati, tapi tidak saya perlihatkan di depan 2 orang itu. Secara gitu kan, aku ini gentle dan cool di mata semua siswa dan guru. Kan gak seru kalau aku tiba-tiba nangis. Tapi tetap saja mau nangis rasanya. Ya mau gimana, ini pasti gara-gara nama saya.
Keesokan harinya pukul 07.27 bel berbunyi pertanda sudah masuk jam pertama. Tapi hari ini bukan waktunya belajar. Ini adalah hari penentuan. Raport semester I akan dibagikan. Rasa deg-degan dan percaya diri bercampur dalam hati saya. Dan saya pasti juara umum pikirku. Ya, gimana gak mau juara umum, semua soal saya jawab dengan cepat dan In sya Allah tepat. Hehe gak sia-sia Ayah saya mengajarkan rasa percaya diri sejak aku kecil.
Ayo anak-anak! Semuanya kumpul di lapangan! Itu pasti suara pak Omas, pikirku. Kepala sekolah terbaik sepanjang masa. Iya, bulan lalu dia membelikan sepasang Merpati khusus untuk saya, walaupun sekarang sudah terbang entah kemana. Lagi-lagi pak Omas gak marah.  Memang lah ya. Coba kalau semua guru seperti beliau. Nyaman sekolah ini.



Saya pasti juara umum, itu aja yang ada dalam otak saya. Tiba-tiba pak Kepala Sekolah mengangkat microphone.
 Bismillahirrahmanirrahim.... Bapak sangat senang hari ini. Sebab kita akan mengetahui siswa tercerdas semester ini. Kami panggilkan anak kami, juara umum kita adalah ......... adalah............adalah.......
Lama kali, pikir saya. Cepat pak!, gerutuku dalam hati.
Juara umum kita adalahhhhh Muhammad. Tepuk tangan!
Saya langsung mengucap Alhamdulillah.
Saya dengan percaya diri maju ke depan menghadap semua guru dan kawan-kawan. Kemudian saya melihat wajah semua orang terheran-heran dengan tingkah saya. Apa yang salah, pikirku. Suara sepatu terdengar dari arah samping kananku, ternyata yang datang adalah kawan saya sendiri, Muhammad Iqbal Samuel alias Muhammad II”. Wajah saya memerah seketika. Pengen rasanya sembunyikan wajah ini  ke dalam saku celana. Juara umumnya ternyata bukan saya, tapi Muhammad II.
Ya Allah, malunya aku.
Si Samuel datang dengan senyum lalu memeluk saya dengan seerat-eratnya. Dia mau meyakinkan kalau saya juga pantas jadi Juara Umum.  Samuel mengantarkan saya ke barisan. Dia memang sahabat terbaik aku.
Ya Allah, kok saya seceroboh ini ya Rabb.
Kenapa aku gak dengar nama akhir Muhammadnya dulu tadi ya. Kapok saya kali ini. Lagi-lagi ini pasti gara-gara guru baru itu.
Dasar, pak Regar menyebalkan.
Ayah dan bunda saya datang menjemput seusai shalat dzuhur. Aku mengadukan kejadian tadi pagi. Bukannya di bela, ayah aku malah tertawa sejadi-jadinya.
Tu kan, ayah ikut-ikutan.  Mukaku kembali kusam bak langit mendung.
Bunda datang memelukku. Udah, ayahmu memang begitu.
Terobati sudah kesalahan tadi. Betul-betul ampuh pelukan Bundaku. Makasih bunda.
Ya udah gak pa pa. Besok, Ayah mau ajak kamu berlibur ke Singapura.
Hore....ee aku melepaskan pelukan bundaku lalu berbalik memeluk Ayahku. Kaca matanya itu memang khas sekali.
Pagi-pagi buta, kami berangkat dari Hang Nadim Internasional Airport. Di atas pesawat aku coba hilangkan semua masalah satu semester ini. Aku juga coba menghilangkan wajah guru baruku yang menjengkelkan dari pikiranku. Semester depan pokoknya yang juara umum harus Muhammad I, bukan Muhammad II.
Pukul 11.45 menjelang siang pesawat kami tiba di Singapore. Hey..hey... Excuse me! What is your name buddy? tanya security kepadaku. Aku jawab dengan lantang, my name is Muhammad I. Security itu lalu menarik passport dari tangan saya dengan cepat. Sorry, We should take your son. Why? tanya ayahku. Bahasa Inggris ayahku lumayan juga, baru sadar. Nothing sir, but it’s a rule. Your son’s name is Muhammad, that’s the problem. We have to check it clearly as detail as possible. Follow me to the office! We defenitely trust you, but it’s already Airport authority. I’m Sorry, Sir!
Ahhhhh... hhh saya berteriak sekuat-kuatnya. Aku mau ganti nama. Semua mata risih melihat saya. Ada satu bule tua berceloteh “It’s not your home, boy”. Bukannya having fun ke Singapura, ehh yang ada malah terkurung di Bandara satu hari.
Udah lah Ayah, kita pulang aja, pintaku. Kapok saya. Aku gak mau dipanggil Muhammad lagi. My name is Fikri. Aku akan melapor ke guru baru itu lagi kalau sudah masuk asrama minggu depan. I apologize Pak Regar! Forgive me! It’s my fault, I’m totally stubborn person.
Islamic Integrated Vocational High School of Darussalam Boarding School  01
Batam Island, November 25, 2015  

Murid Bandel, Guru Malas dan Cita-cita yang Tak Sampai









Saudaraku! Saya gak tahu kenapa saya perlu menulis ini. Di kota keras ini susah mendapatkan teman curhat. Ini saya meminta obat hati. Saya mengajar di sebuah yayasan berlabel Islam di salah satu sudut kota Batam nan padat. Instansi yang memang pernah saya impikan. Semoga catatan kecil ini tidak membuat saya dipecat.
Saya terdiam 30 menit memikirkan makna mendalam sebuah kutipan berbahasa Inggris di halaman facebook tadi malam. Kata-katanya seperti ini “If a drop of water falls on a Lake, its identity is lost. If it falls on Lotus leaf, it shines like a Pearl. Drop is the same; but the company matters”. Artinya kurang lebih seperti ini; Jika setetes air jatuh di atas sebuah danau, ia akan sirna tak berarti. Jika ia jatuh di atas daun teratai, ia akan bersinar seperti mutiara. Tetesannya sama, tapi tempat jatuhnya yang menjadikan keduanya berbeda.
Ini mengindikasikan kalau siapapun bisa lebih bersinar dan berkarya lebih jika ia bekerja sesuai kualifikasi keilmuannya dan ditempatkan di lingkungan yang sesuai karakternya. Dan dia enjoy, hasilnya pasti maksimal.
Saya mungkin bisa jauh lebih dihargai jika bekerja di instansi lain. Saya mungkin bisa dianggap guru dengan posisi benar-benar guru, pendidik dengan tempat yang memang layak ia tempati. Saya tidak berbicara income sekarang. Yang saya maksudkan adalah selfesteem, penghormatan secara attitude. Kalaulah saya sepenuhnya mencari uang, jelas guru bukanlah daftar profesi menjanjikan. Secara income memang sudah lama saya dapatkan sindiran tajam dari sahabat-sahabat yang mungkin hanya lulusan SMA atau bahkan SMP. Gaji mereka jauh berlipat ganda dari yang saya peroleh. “Masa S1 dibayar segitu?”, kata mereka. Ini Batam lho. But I still keep calm. Mereka lucky dan berbakat jadi orang kaya. Dalam catatan saya, mengajar adalah pekerjaan yang ideal untuk orang sekerdil saya. Saya tidak cukup bijak berbisnis, apalagi kerja under pressure. Tapi,,,,,,,,,
Tapi, iya tapi yang ini jauh dari kata tertekan. Yayasan menuntut guru-gurunya untuk bekerja penuh. Di samping itu saya juga lama-lama muak dengan anak didik yang tidak tahu tata krama. 3 minggu terakhir ini saya mengajar additional class untuk employee pada malam hari. Yayasan tidak mengizinkan secara tertulis. Peserta didik saya  itu adalah karyawan perusahaan yang memiliki uang berlebih. Usia mereka semuanya di atas saya. Belajar bahasa Inggris untuk meningkatkan posisi mereka di perusahaan. Minggu lalu seusai pembelajaran ditutup saya persilakan mereka terlebih dahulu untuk keluar sementara saya harus membersihkan tangan karena ada sedikit tinta boardmarker. Mereka bukannya pulang malah ribut di luar. “what’s going on?” tanya saya. Seorang wanita menjawab ini si “Xyxy” memuji-muji Mister terus, katanya Mister berbakat sekali untuk jadi tenaga pengajar. Kami maunya belajar sama Mister terus setiap pertemuan, bukan Conversation Class aja. Apa ini? Kan saya gak bisa. Nanti saya dipecat yayasan saya gimana. Mereka memuji dan mengangkat saya habis-habisan. Ahhh... Pujian itu 11 VS 12 dengan jurang. Mama saya tiap hari lagi mujinya. But overall Alhamdulillah, ternyata masih ada yang membutuhkan saya. Kalau saja kalian tahu, saya tidak mau berjumpa dengan kalian. Tidak suka bicara hingga berbusa yang berujung sia-sia. Saya tidak suka mengajar, belum cukup ilmu saya. Masih ingin lanjut Master program. Tapi keadaan berbicara lebih banyak.  
Berbeda 180 derajat dengan yang saya alami di sekolah formal. Di sekolah saya tidaklah begitu dihargai. Dicap guru killer. Perhatian dan kasih sayang saya disalah artikan. Apalagi ini sistem Boarding, mereka sudah saya anggap seperti keluarga. Kenapa akhlaknya malah lebih buruk dibandingkan sekolah yang tidak mengenal agama. Saya mencintai dan menyayangi mereka, namun tak pernah berbalas. Mencintai itu kewajiban, dicintai itu opsional. Tidak sengaja dengar dari dalam Lab percakapan dua siswa “kau baik-baik, nanti pak Zul marah baru kau tahu, kalau belum tahu kan kalau pak zul marah, aku aja takut padahal aku dengarnya dari luar di kelas III kemarin pokoknya ngerilah.” Saya dudukkan sebentar, ajak hati untuk kompromi. Terulang ketika ada beberapa kelas yang menolak saya untuk menggantikan guru di Pekanbaru dulu. Sudah tak terhitung berapa kali saya mengusir siswa dari kelas ketika sedang menerangkan. Puncak kemarahan saya adalah kamis 2 hari yang lalu. Padahal kami sedang berpuasa sunah. Setan saya besar, gemetar badan saya pengen melayangkan tangan ini ke wajahnya. Dalam hati menangis, kenapa anak itu bisa berkata tidak senonoh kepada gurunya. Perlakuan ke saya memang sedikit berbeda, saya tidak tahannya ketika mereka melawan guru-guru yang sudah berumur hampir setengah abad.  
Saya memiliki sahabat akrab ahli Matematika, pemenang Olimpiade Sains yang sudah melanglang buana keliling Indonesia, dan yang paling saya kagumi adalah beliau hafal Qur’an. I just guess it. Tapi ayat Qur’an manapun yang saya ceritakan dan bacakan, dia nimbrung begitu saja. Ia adalah orang tercerdas yang pernah kenal selama saya hidup. Saya bahkan ragu kalau dosen, guru atau barisan ilmuan lebih cerdas dari beliau. Saya sudah lama tidak menanyakan kabarnya. Terakhir kali dia mengatakan kalau dia akan lanjut S2 di Institut Teknologi Bandung, kampus yang mungkin tidak akan pernah saya nikmati. Hanya saja beasiswanya belum keluar hingga hari ini. Saya heran kenapa tidak ada pihak yang membiayainya. Padahal ia adalah lulusan terbaik sekaligus Cumlaude di angkatan saya. Dia saja tidak dapat schoolarship, apalagi saya ya. Dia mengeluhkan bagaimana kondisinya sebagai tenaga pengajar. Ia akui kalau ia tidak sanggup mengajar orang-orang dengan level beginner atau intermediate. Ia hanya bisa mengajar level advance, siswa-siswi yang biasa bergelut dengan Olimpiade. Inilah yang terjadi dengan saya saat ini. Bukan karena sombong atau apa. Saya mulai sadar kalau saya bukanlah guru yang bijak. Saya ternyata hanya bisa mengajar orang-orang yang bisa diajak belajar. Ini tidaklah dibenarkan. Saya tidak punya jurus ampuh atau trik jitu untuk membuat anak pemalas, anak bandel atau pembangkang kelas kakap belajar dengan benar. Saya sangat tidak terima ketika materi yang saya ajarkan tidak mampu dicerna anak saya. Saya emosi ketika mereka kerap kali mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan marah besar ketika skor mereka tidak sanggup mencapai ketuntasan minimum. Saya sangat kagum kuadrat dengan teori Yohanes Surya “Carikan saya anak yang paling bodoh dari Papua, akan saya jadikan ia pemenang olimpiade”. ”Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar.”
Saya tidak sanggup seperti itu. Gak lama lagi mungkin akan angkat bendera putih. Give up, lanjut plan B : pulang kampung menikah dengan gadis desa yang tidak banyak tuntutan, bertani, punya anak, meninggal. Atau kemungkinan terburuk: dipecat yayasan, disuruh bungkus baju. Poor I am.
Berikan kesabaran Tuhan! Tanahmu luas. Jika pekerjaan ini tepat untuk saya, berikan kemudahan. Jika pekerjaan ini hanya menambah dosa, menyakiti perasaan yang berujung neraka, berikan aku pekerjaan yang lebih tepat ya Rabb! Mudahkan rezekiku, agar baktiku ke orangtua lebih besar lagi. Yassir kullah.....!




                               Distrik XX, Batam, April 29th, 2016 at. 10.29 P.M.

(A)B,C,D. (Allexyndary) Betaemeis, Calvicentura & Damixoverty

Apa kabar? Semoga tetap dalam limpahan rahmat-Nya. Beberapa waktu lalu saya diminta untuk menghapus tulisan di media sosial d...