Masih sibukkah dengan Tuhanmu?
Sesuai keinginanmu, aku sekarang sudah belajar menulis novel.
Aku bahkan juara 1 ketika ada lomba menulis cerpen antar guru di sekolahku. Awal yang baik bukan?
Semoga dikau sehat selalu di sana.
Pagi itu di SMK Islam Terpadu Darussalam
Boarding School 01 Batam.
Teeeet
...... teeeee........et! Bel berbunyi dua
kali. Aku bergegas masuk kelas. Cepat Samuel! Kita masih ada ujian satu lagi
lho, seruku.
“Apalah kamu ini Fik, panggil Steven ajalah, biar keren dikit, celoteh
Samuel.
Elleehh.....h kamu juga jangan panggil
aku Fik! Jelek kali, itu nama hewan. Udah berapa kali aku bilang, gak
suka aku.
Hehe...samuel tertawa sedikit meledek. Kita ujian apa? lanjut Samuel.
English, jawabku.
What?
You gotta be kidding me right? I didn’t study last night. Pasti guru
baru itu lagi yang ngawas, gak seru.
Mungkin iya juga, I don’t like him, sahutku.
Aku gak suka juga, masa dia manggil aku Samuel, namaku kan
Iqbal, eh Steven maksud aku. Kadang bapak itu manggil dengan kata “Abang” lagi.
Maksudnya apa coba?
Aku juga, kok kita sama ya? lanjutku.
Uwekkkk... jangan bilang kita jodoh! sambung
Samuel.
Kami juga, teriak dua perempuan cantik di belakang saya.
Kami dipanggil kakak sama bapak itu.
Namaku kan Cahaya, dipanggil Nidel. Aku Zahra, masa dipanggil Fatimah!
Aneh kan. He is really strange.
Ehhh aku gak nanya kalian ya.
Kau ribut kalilah Fik!
Gak usah pakai kata “kau” lah Zahra! Gak
sopan kali.
Terserah akulah, mulut mulut aku, wekk.
Dari jauh guru baru itu memanggil kami, “cepat
bang!”
Kenapa ya bapak itu suka kali manggil “abang”,
atau jangan-jangan bapak guru itu adek saya yang tertukar.
Haha.... kami tertawa bersama-sama. Cepat bang! Cepat kak! Teriakannya
makin keras. Hurry up! Udah lewat 10 menit ini.
Huhhhh bising kali guru baru itu, seru
Cahaya.
Fatima, Hurry up! Nidel, cepat! Samuel, Fik!
Kami semua berlarian masuk ruangan ujian.
30 menit saya sudah selesai menjawab
semua soal. Soal bahasa Inggrisnya cemen, soal guru baru itu gak menantang kali.
Soalnya yang terlalu mudah atau sayanya yang terlalu pintar, ntahlah, saya juga
gak tahu. Tutup mata saja saya bisa mengisi semuanya. Ahhh....h.. pasti
hasilnya memuaskan.
Done, Fikri? Tanya guru baru itu lagi. Sure. It’s
absolutely easy, Sir, jawabku. Jangan panggil aku Fik lah pak! Panggil
saya Muhammad pak! Iya bang. Let me try it later. Lho... Kok abang sih pak?
Guru baru itu tak mau menjawab lagi. Dikacangin gua, “harga kacang mahal
weiii teriakku. Ia hanya tersenyum lirih, sesekali bibirnya bergerak ke
kiri. Nampak kali kalau senyumnya gak ikhlas.
Anehhhhh.....hh pikirku.
Saya antarkan kertas ujian ke meja guru
baru itu. Aku pasang muka garang tepat di depannya. Mulai hari ini aku gak
mau dipanggil dengan sebutan Fik atau abang. Pokoknya bapak harus manggil saya
“Muhammad”!
Kalau abang saya panggil Muhammad, gimana
dengan temanmu yang satu lagi?
Dia itu namanya Muhammad Iqbal Samuel,
tapi lebih senang dipanggil Steven. Saya ini Muhammad Fikri Abdillah.
Gak lah pak, saya mau dipanggil Muhammad
juga, Samuel berteriak dari belakang.
Apaan sih Iqbal? Ngerocos aja dari
belakang, tuturku lebih keras lagi.
Ok,,, kalau begitu mulai hari ini Fikri
bapak panggil Muhammad I, terus si Iqbal bapak panggil Muhammad II. Deal? Ok deal, aku dan Iqbal serentak
menjawabnya.
Ada yang mau ganti nama lagi? tanya guru baru itu. Dua perempuan
cantik yang aku kagumi selama ini juga ternyata gak mau dipanggil dengan nama
pemberian guru baru itu, mereka semuanya ingin dipanggil dengan nama mereka selama ini. Dasar, bisanya
ikut-ikutan aja. Mereka kadang menjengkelkan, tapi tetap aja asyik.
Sore sekitar pukul 04.23 P.M, saya
rebahkan badan gemuk saya di atas kasur tebal di asrama. Huhhh.. terbayar sudah
penatnya hari ini. Saya akhirnya tertidur pulas.
Tok.... tokkk. Muhammad bangun, ada
kawanmu datang! Iya pak, teriakku dari dalam
kamar.
Aku bangkit lalu cuci muka dengan
pembersih Garnier di kamar mandi ukuran satu kali satu meter itu. Saya
cepat-cepat berlari ke Gazebo. Dari jauh aku melihat dua laki-laki sedang duduk
di atas motor. Kok wajahnya gak familiar ya, pikirku. Aduhhh gawat....! Itu
pasti kawannya si Muhammad II. Ahhhhh,,, kesalnya. Ampun Tuhan! Capek-capek
saya bangun ternyata bukan kawan aku.
Kok balik lagi Muhammad I? tanya guru baru itu. Bapak ini apalah, itu
bukan kawan aku, itu kawannya Muhammad II. Yaaa I’m Sorry, habis tadinya mereka
minta panggilin Muhammad, kirain deh. Iya pak, never mind. Aku lanjutkan
tidurku lagi.
Hey
Muhammad II, kawanmu nunggu di sana! Si Iqbal
tertawa terpingkal-pingkal.
Tiga hari kemudian sial menimpa aku
kembali. Paket kiriman orang tuaku diterima oleh guru baru itu juga. Kali ini
bukan aku yang dipanggil. Dia memanggil si Samuel alias Muhammad II. Aku sibuk
mencuci baju yang hampir saja dua baskom banyaknya. Usai mencuci aku hampiri
guru baru dan Muhammad II di Gazebo. Ada bekas makanan di tengah mereka berdua.
Tupperware berwarna orange itu tak asing di mata saya. Itu sepertinya kiriman
bunda saya.
Lho, kiriman saya kok dimakan sih Pak?
Kamu juga Muhammad II. Si Muhammad II dan
guru baru itu tertawa terbahak-bahak.
Saya kira ini kiriman untuk saya Muhammad
I, It’s not my fault, ma’af ya, lanjut
Muhammad II.
Iya Muhammad, tadi tulisannya “for
Muhammad” gak ada tulisan I atau II nya. Ya si Samuel ngajak saya makan, ya
habis deh.
Aduh......hhh Kali ini saya sakit hati, tapi tidak saya
perlihatkan di depan 2 orang itu. Secara gitu kan, aku ini gentle dan cool di
mata semua siswa dan guru. Kan gak seru kalau aku tiba-tiba nangis. Tapi tetap
saja mau nangis rasanya. Ya mau gimana, ini pasti gara-gara nama saya.
Keesokan harinya pukul 07.27 bel berbunyi
pertanda sudah masuk jam pertama. Tapi hari ini bukan waktunya belajar. Ini
adalah hari penentuan. Raport semester I akan dibagikan. Rasa deg-degan dan
percaya diri bercampur dalam hati saya. Dan saya pasti juara umum pikirku. Ya,
gimana gak mau juara umum, semua soal saya jawab dengan cepat dan In sya Allah
tepat. Hehe gak sia-sia Ayah saya mengajarkan rasa percaya diri sejak aku kecil.
Ayo anak-anak! Semuanya kumpul di
lapangan! Itu pasti suara pak Omas, pikirku.
Kepala sekolah terbaik sepanjang masa. Iya, bulan lalu dia membelikan sepasang
Merpati khusus untuk saya, walaupun sekarang sudah terbang entah kemana.
Lagi-lagi pak Omas gak marah. Memang lah
ya. Coba kalau semua guru seperti beliau. Nyaman sekolah ini.
Saya pasti juara umum, itu aja yang ada dalam otak saya. Tiba-tiba
pak Kepala Sekolah mengangkat microphone.
Bismillahirrahmanirrahim....
Bapak sangat senang hari ini. Sebab kita akan mengetahui siswa tercerdas
semester ini. Kami panggilkan anak kami, juara umum kita adalah .........
adalah............adalah.......
Lama kali, pikir saya. Cepat pak!, gerutuku dalam
hati.
Juara umum kita adalahhhhh Muhammad.
Tepuk tangan!
Saya langsung mengucap Alhamdulillah.
Saya dengan percaya diri maju ke depan
menghadap semua guru dan kawan-kawan. Kemudian saya melihat wajah semua orang
terheran-heran dengan tingkah saya. Apa yang salah, pikirku. Suara sepatu
terdengar dari arah samping kananku, ternyata yang datang adalah kawan saya
sendiri, Muhammad Iqbal Samuel alias Muhammad II”. Wajah saya memerah seketika.
Pengen rasanya sembunyikan wajah ini ke
dalam saku celana. Juara umumnya ternyata bukan saya, tapi Muhammad II.
Ya Allah, malunya aku.
Si Samuel datang dengan senyum lalu
memeluk saya dengan seerat-eratnya. Dia mau meyakinkan kalau saya juga pantas
jadi Juara Umum. Samuel mengantarkan
saya ke barisan. Dia memang sahabat terbaik aku.
Ya Allah, kok saya seceroboh ini ya Rabb.
Kenapa aku gak dengar nama akhir Muhammadnya
dulu tadi ya. Kapok saya kali ini. Lagi-lagi ini pasti gara-gara guru baru itu.
Dasar, pak Regar menyebalkan.
Ayah dan bunda saya datang menjemput
seusai shalat dzuhur. Aku mengadukan kejadian tadi pagi. Bukannya di bela, ayah
aku malah tertawa sejadi-jadinya.
Tu kan, ayah ikut-ikutan. Mukaku
kembali kusam bak langit mendung.
Bunda datang memelukku. Udah, ayahmu
memang begitu.
Terobati sudah kesalahan tadi.
Betul-betul ampuh pelukan Bundaku. Makasih bunda.
Ya udah gak pa pa. Besok, Ayah mau ajak
kamu berlibur ke Singapura.
Hore....ee aku melepaskan pelukan bundaku lalu berbalik
memeluk Ayahku. Kaca matanya itu memang khas sekali.
Pagi-pagi buta, kami berangkat dari Hang
Nadim Internasional Airport. Di atas pesawat aku coba hilangkan semua masalah
satu semester ini. Aku juga coba menghilangkan wajah guru baruku yang
menjengkelkan dari pikiranku. Semester depan pokoknya yang juara umum harus
Muhammad I, bukan Muhammad II.
Pukul 11.45 menjelang siang pesawat kami
tiba di Singapore. Hey..hey... Excuse me! What is your name buddy?
tanya security kepadaku. Aku jawab dengan lantang, my name is Muhammad I.
Security itu lalu menarik passport dari tangan saya dengan cepat. Sorry, We
should take your son. Why? tanya ayahku. Bahasa Inggris ayahku lumayan
juga, baru sadar. Nothing sir, but it’s a rule. Your son’s name is Muhammad,
that’s the problem. We have to check it clearly as detail as possible. Follow
me to the office! We defenitely trust you, but it’s already Airport authority.
I’m Sorry, Sir!
Ahhhhh... hhh saya berteriak sekuat-kuatnya. Aku mau ganti
nama. Semua mata risih melihat saya. Ada satu bule tua berceloteh “It’s
not your home, boy”. Bukannya having fun ke Singapura, ehh yang ada malah
terkurung di Bandara satu hari.
Udah lah Ayah, kita pulang aja, pintaku. Kapok saya. Aku gak mau dipanggil
Muhammad lagi. My name is Fikri. Aku akan melapor ke guru baru itu lagi
kalau sudah masuk asrama minggu depan. I apologize Pak Regar! Forgive me!
It’s my fault, I’m totally stubborn person.
Islamic
Integrated Vocational High School of Darussalam Boarding School 01
Batam Island, November 25, 2015