Semoga tetap dalam limpahan
rahmat-Nya.
Beberapa waktu lalu saya diminta untuk menghapus tulisan di media
sosial dan blog. Padahal visitorsnya sudah lebih 5000-an. Tahulah negara kita
seperti apa. Katanya demokrasi, tapi gak boleh mengeluarkan pendapat. Katanya
saya gak boleh jujur-jujur kali. Aneh kan? Tulisan ini juga mungkin gak lama
usianya. Ntahlah, saya gak ngajak kamu membahas ini. Saya hanya rindu sunrise,
sunset, kubah masjid dan view palm spring dari rooftop Laboratorium. Kamu mau gak
mendengar ceritaku? Agak panjang sih, tapi saya gak ada kawan cerita. Izinkan
saya menulis ini untukmu.
Pesiar terakhir,,,
Fellas, Sabtu pagi senyap sekitar pukul 08.40, sehari setelah pesiar
terakhir di bulan Agustus 2019.
“Assalamu ‘alaikum ustadz” Suara pelan menggangguku yang sedang asik
merapikan puluhan buku di ruang pustaka kecilku.
“Wa’alaikum salam, masuk”, sahutku. Ia tak kunjung masuk kamar.
Aduhh,, Beberapa di antara kamu memang sopannya kuadrat pangkat
kubik.
Saya buka pintu, “nak ape?” saya sudah lama membiasakan diri dan
memang sudah mulai terbiasa berbahasa dengan dialect Melayu.
“Nak balek tad, boleh tak pesankan grab ke pelabuhan.”
“Aihh,,, mane bisa, biasanye akses grab gojek ditutup sama Monitigo
resort, bang”, harus ke Batu Besar dulu, tapi bentar ustad coba. Ustad juga nak
balek ke Batu Aji mau ambil motor butut ustad tu”.
As expected, nunggu di gerbang mewah kita selama 35 menit nihil, tak
ada grab, tak ada Trans Batam. Tiba-tiba lewat mobil pick up putih yang baru
saja mengantar material bangunan Madrasah kita.
“Pak, boleh numpang ke Batu Besar? “Tak ada bus yang lewat.” Muka
memelas.
“Boleh, tapi kotor dek. Masuk dalam aja.”
“Tak ape, di belakang aje pak”.
Kamu pasti tahu kan gimana senangnya bisa naik pick up keluar
lingkungan madrasah.
Singkat cerita, di atas pick up yang berlari kencang ditambah
hembusan angin hutan Nongsa membuat temanmu semakin canggung, diam, gak berani
menatapku. Sekitar pemakaman Cina dekat simpang Bakau Serip, saya pancing dia
bicara.
‘Anta kenape gak mau dekat sama ustad? He?”
“Hehe takut tad”.
“Takut kenape? Emang ustad makan orang?”
“Bukan itu, orang yang dekat ustad itu semua lancar bahasa Arab
Inggris, segan. Ana gak bisa apa-apa tad.”
“Iyekah? Mane ade. Bang, kalau ustad pulang, terus berhenti dari IC
ape yang kamu rindukan dari ustad?”
“Apa sih tad? Ustad janganlah pindah-pindah. Tunggu kami tamat
ajelah.”
“Ssss,,,Kata-kata magic itu ustad dah dengar mulai zaman
Allexyndary, bro.”
“Stoppp, sini aja om,” teriakku dengan keras.
Saya berhentikan pick up di depan 212 Mart Batu Besar.
“Berapa om”, tanyaku dengan nada bercanda. Hanya dibalas senyum
lebar.
“Makasih ya om”. Saya pesankan grab untuk penghuni asrama yang
terakhir.
“Hati-hati, kirim salam ustad untuk Ibu ya bang”. Saya peluk anak
itu.
Seketika itu juga Trans Batam lewat, saya naik lalu duduk di kursi
belakang sudut kanan, tak lupa kenakan topi berlafaz tauhid dan jaket abu-abu,
pasang earphone, putar lagu “home”, lanjutkan baca buku Filasafat pemberian
Azeliansyah. Perfect moment.
Baru 2 lembar terbaca, saya melihat ke jendela bus dan mulai
berangan-angan jauh, “ini benar gak mau ninggalin Madrasah.” Udah lulus, dah
dapat izin Ibu kepala madrasah juga. Masa harus mundur di tengah jalan.
Sebenarnya ini adalah cara terhormat untuk rehat dari IC, pikirku. Kamu mungkin
tahu, hampir setiap semester saya coba cari kerja lain. Tidak sedikit yang
menerima. Terakhir saya ada tawaran kerja di Kota Medan, tapi lagi-lagi egoku
kalah dengan rengek, bujuk dan rayu temanmu. “ayolah tad, balek IC lagi, Kalau
ustad balek, saya janji bakalan berubah makin shaleh”. Elleh, buaya merayu.
Tahun lalu saya juga sedikit frustasi gagal lolos test CPNS karena salah
lokasi. Itu memang masa-masanya pengen keluar IC, sering salah paham dengamu,
benar-benar tak kuat. Maklumlah, saya belum dewasa sepenuhnya. Padahal hasil
testnya sudah selangit, melamar untuk seorang dosen pun udah sangat layak.
Tapi,,, sudahlah.
Hutan Nongsa, 28 Agustus 2019
Fellas! Apakah kamu ingat? Saya kerap kali memujimu karena kamu
adalah ahlinya “unexpected event organizers”. Muhadharah mendadak, MC mendadak,
dan ulangan mendadak. 1 jam atau bahkan 30 menit sebelum acara baru dimulai.
Dan kita lihat bersama, “we made it, we did it well, in perfect way as well”.
Saya tak jarang berkoar “anak IC itu harus siap ditunjuk 5 menit sebelum lomba,
anak IC itu harus siap pidato kapanpun, harus siap menyambut tamu besar dari
pusat, Pak Menteri, Pak Gubernur, Pak Walikota, dan masih banyak lagi. Mungkin
hanya pak Jokowi saja yang belum mengunjungi sekolah kita. Besok mungkin,
siap-siap saja berjemur 3 jam menunggu orang-orang penting seperti itu. Udah
biasa gak sih? Kamu kesal kan, sama, saya juga. Hanya saja tidak saya
tunjukkan, sengaja saya temani kamu berjemur seolah meyakinkanmu kalau yang
ditunggu sudah di depan gerbang. Tapi sumpah, mereka kadang kelewatan memang.
Saya paling tidak suka dengan orang yang tidak tepat waktu. Kamu pasti tahu
itu. Di tengah kalian sering saya ingatkan, “kalau kelak kalian jadi orang
besar, jangan menzhalimi orang seperti ini ya!”
Teman, “kamu lulus”, kamu sudah ahli menghadapi hal mendadak. Malah
saya yang remedial. Kali ini, saya benar-benar gak siap meninggalkanmu secepat
ini, teman. Tangisan temanmu di lututku di depan ruang guru sampai satu jam
lebih, dia bahkan tak peduli apa kata orang, saya benar melihat tulusnya dia
menangis. Di tempat lain, tangis dan pelukan temanmu di depan asrama di sore
harinya juga masih terasa sampai sekarang. Dia gak pernah memeluk saya seerat
itu. Isakan temanmu yang lari ke kamar mandi juga masih persis saya ingat.
Kepalanya menggeleng melihat saya menyusun baju di koper hitamku. Dia gak
percaya secepat itu. Saya tak kuat melihatnya.
“Ustad jahat kali tad, siapa kawan saya lagi tad?” derai air matanya
itu, aduhhh. Saya terpaksa mengusap air matanya dulu puluhan menit, baru
melanjutkan packing.
Hang Nadim, 29 Agustus 2019
28 Dzulhijjah 1440 H.
Teman, hari ini bertepan dengan Ulang tahunku. Sayapun sampai lupa.
Saya meminta maaf di depanmu. Sebenarnya, banyak hal yang ingin saya
sampaikan. Tapi saya tak kuat lagi. Engkau banyak memberiku kenangan, maaf
tidak semuanya bisa saya bawa. Bagasi maskapai sekarang hampir semua berbayar.
Seusai perpisahan saya diikuti oleh salah satu abangmu yang menangis
ke kamar.
“Mau ngomong tad,”
“Ya udah, bicaralah!. Jangan nangis, nanti ustad nangis lagi, gak
bisa packing, gak jadi berangkat”.
Dia mengajakku duduk di tangga asrama lantai dua. Saya mengikuti
semua keinginannya.
“dah sekarang ngomonglah!”
Dia gak ngomong, dia malah terisak nangis dan memelukku dengan
seerat-eratnya.
“Saya minta maaf karena gak mau foto sama ustad, bukan apa, saya gak
mau buat kenangan terakhir dengan orang yang saya sayangi. Saya takut itu jadi
kenangan terakhir, saya gak mau kehilangan ustad”. Tangisnya semakin menjadi.
“Iya ustad paham”, Sayapun kembali terisak.
“Ustad dengar janji saya tad! Do’ain saya jadi orang kaya, cita-cita
pertama saya mau bawa orangtua dan ustad ke Makkah. Saya janji tad”.
“Allohu akbar”, Saya peluk dia balik. Kali ini tangisku yang lebih
kuat. Saya ngajar apa sama anak ini sampai segitu berkesannya saya baginya.
“Iya, sana abang belajar!”
“Terus ini ada benda kecil namun sangat berharga buat saya, ustad
bawa ya, sekalian tempat kuliah ustad kan dingin, ustad bawa jaket ini ya,
janji harus dipakai”.
Aduhh ini anak ya Rabb.
“Kamu tahu gak bang, kalaulah segelintir temanmu tidak berkata kasar
sama ustad, ustad tak nak ninggalkan abang.” Tak pernah terpikir untuk keluar
atau lanjut kuliah. Nyaman di sini bg.” Tapi udahlah, gak usah dibahas lagi,
sana belajar!”
“Iya tad, makasih semuanya ya tad”
“Iya, udah sana, janji yang shaleh” Saya peluk dan cium kepalanya.
Teman!
Kamu tahu, pesawatku take off sekitar pukul 05.15 p.m, tapi saya
sengaja ke airport jam 02.30, biar saya tak menangis lagi kalau ketemu kamu di
Ashar. See, saya mulai terisak setelah masuk kabin. Alay ya? Gak. Air mataku
kali ini benar-benar tulus. Terlalu banyak yang harus dikenang.
Saya mendarat di Surabaya dan langsung ke kota kecil di selatan
bernama Malang. Tiba sekitar jam 12.00 malam, disambut abangmu yang di
Brawijaya. Dinginnya sampai menusuk jaket tebalku. 15 derajat celcius. Gila….
Bumi Arema, 30 Agustus 2019
Ini hari pertama saya kuliah, bertemu dengan awardee yang lain. Kita
ada 15 orang. As what I guessed mereka semua adalah orang-orang hebat. Dua di
antara mereka bahkan menjabat kepala sekolah. Englishnya gila, pantes mereka
mengalahkan guru-guru kita dari IC lain. Mereka juga alumni dari kampus ternama
di negeri ini. Saya? Saya apalah, sarok-sarok kuaci kata orang Minang.
Untuk mendapatkan beasiswa ini memang agak gampang-gampang susah.
Pasalnya, kita hanya bersaing sesama guru se-Indonesia, bukan seperti
Chevening, AMINEF dan LPDP. Ya, tapi tetap saja bergengsi bagi orang sekelas
saya. Dari mana coba saya dapat uang 100 juta untuk lanjut S2. Saya anak petani
dari sepasang suami istri di tanah gersang di Sumatera Utara. Itu mustahil
teman.
Then, kursi yang diperebutkan hanya 15. Kalau tak salah pendaftarnya
kurang lebih 400 orang. Fully funded, semua dibiayai termasuk biaya hidup.
Meski sampai sekarang belum cair juga. Makanya saran saya kalau cari beasiswa,
cari beasiswa luar bukan besiswa Indonesia, biar gak ada macetnya. But so far,
ya Alhamdulillah,,, we got it. Al-Fatihah kalian yang luar biasa. Kamu jangan
pernah anggap sepele dengan do’a dan Al-Fatihah itu kawan. Buktinya kerap kali
menembus langit dan menggoyangkan Arsy Tuhan. Terima kasih teman. Kalau bukan
karena doa kalian, Saya tak akan pernah mencicipi pahitnya “thesis”. Sekali
lagi terima kasih teman!
Terusan Surabaya, 31 Agustus 2019
Hari ini saya cari kos-an di sekitar jalan Terusan Surabaya. Oh iya,
hampir semua kota di Indonesia dibuatkan nama jalan di sini. Jalan Jakarta,
Bogor, Pekalongan, Denpasar, dll. Saya masuk dari Semarang, kemudian Surabaya,
Gresik, Mojokerto, Kediri dan keluar di Bondowoso. Saya memberanikan diri masuk
ke sebuah gang kecil.
“Maaf pak, ada kamar kosong? Saya mau ngekos”.
“Ada sih mas, tapi ini kamar anak Manado yang ambil S3, sampai
sekarang dia bayar terus tapi gak pernah ditinggali. Kalau mau datang besok,
biar saya rapikan.”
“Iya pak, in sya Allah”, lanjutku. Kami cerita panjang tentang
asal-usul dan pekerjaan. Terakhir dia menepuk bahuku sambil berkata,
“itu saja mas kalau mau, tapi satu hal lain yang perlu mas pertimbangkan
kalau mau kos di sini. Saya “Nashrani” lho mas.
Dubbb…Terdiam saya sebentar, “gak pa pa pak”. Saya mencoba
meyakinkan.
“Tapi tenang saja, saya punya mushallah kok, saya mungkin
satu-satunya Nashrani yang punya Mushallah.”
“Iya pak, kalau jadi nanti jam 05.00 sore saya datang pak.”
You know, saya gak jadi ambil kosnya. Bukan masalah intoleran.
Dompetku saja yang gak mengizinkan.
Kali ini saya dapat kos yang bisa diangsur. Lumayan, bisa nangguh 2
minggu. Di kota orang itu harus hemat. Amak apak jauh di kampung sana. Jiwa
socialist harus ditangguhkan dulu. Iya, sejak saya duduk di bangku sekolah,
saya adalah orang yang cukup rajin mentraktir orang. Saya mau habis-habisan
uang demi teman, tanya saja temanmu yang lumayan dekat dengan saya. Bukan
pamer. Ini tentang kepribadian. Di sini mungkin harus dikurangi genk. Tapi tak
apa, kalau kamu ke sini saya janji bakalan traktir kamu, saya ajak kamu
keliling kota, mengunjungi museum atau bahkan mendaki Semeru dan Bromo.
Karena saya masih alay, saya masih sering post sesuatu di media
sosial.
Krink,,,” WhatsApp bunyi.
“Selesai kuliah dulu dong baru abang nikah ya?”
“Waktu kuliah juga bisa dek, gak ada salahnya” jawabku membuat
tameng.
Hanya dijawab dengan emoticon.
Kawan, beberapa bulan lalu saya dikenalkan teman dengan seorang
akhwat, perawat di Ibukota. Saya gak pacaran, percayalah! Mau nikah aja
langsung. Kalau saya mau, saya bisa saja mengajaknya “pacaran”, tapi sekali
lagi “saya gak sejahat itu”. Banyak godaan genk. Do’akan saya istiqomah!
Cakrawala, 03 September 2019
Hari ini saya menghadiri kuliah riset di kelas seorang Professor
dari University of Lowa, USA. Tahu tak, saya hanya paham 50% dari yang beliau
sampaikan. Sumpah, serasa paling bodoh di situ. Yang ngajar pascasarjana adalah
rata-rata professor. Wibawa tinggi jelas terpancar dari wajah-wajah cerdas
mereka. Kamu kenal Pak Prof. Muhadjir Efendi, Menteri Pendidikan kita itu lho.
Beliau alumni dari kampus ini. Terus, kamu kenal Mario Teguh tak? beliau alumni
dari sini juga. Jujur, kalaulah bukan karena tuntutan negara harus pendidikan
liniear, saya dah bosan belajar Bahasa Inggris. 6 tahun di boarding, 4 tahun
S1, ditambah ngajar 4 tahun. Bosankan. Pengennya belajar agama, Qur’an dan
Hadist saja.
Selanjutnya saya ambil kelas Linguistics, makin stress kawan. Materi
dan rumusnya lebih rumit dari Matematika dan Calculus mu itu. Saya sudah
mempelajarinya di kelas Morphology dan Phonology waktu S1 dulu, tapi gak
serumit ini. Beliau dari Hawai. Tapi saya suka kelas beliau, sebab beliau kenal
betul dengan saya, nama “Siregar” itu benar-benar lengket di memori beliau.
Di mata kuliah lain, saya ditugaskan review dan present
International Journal. You know what, rata-rata jurnal yang dipublish di google
itu juga karya dan editan professor-prefessor cerdas itu. Sumpah, harus extra
hati-hati memang. Mereka juga penguji doktor di berbagai Universitas ternama di
negeri ini. Katakanlah “Udayana, Unesa, Unimed etc”.
Kebayang gak posisi saya seperti apa?
Saya datang ketika kelas reguler sudah kuliah 2 minggu. Ngejar
materi sebanyak itu. Kalau gak masuk 3 hari di IC itu ngejarnya seminggu kan. I
know your feeling, buddies.
Seberang kost abangmu yang kuliah di Brawijaya ada pusat
perbelanjaan favorit mahasiswa low budget. Ya, seperti Botania lah kira-kira.
Saya beli peralatan alakadar anak kost, yang paling urgent tentunya. Saya
niatkan nak singgah sebentar di kost abangmu. Nihil. Mereka sibuk betul. Saya
ajak beberapa kali untuk ngumpul, mereka selau tak sempat. Maklumlah.
Saya pulang ke kost, lalu tunaikan shalat Magrib. Bapak Imam masjid
Riyadhul Jannah itu sudah ke-lima kalinya merangkulku dengan akrab. Harum
parfumnya terasa lembut tatkala saya cium tangannya. Beliau mengingatkanku
dengan ustadku di bumi utara sana. Ini untuk kesekian kalinya dia memujiku
dengan kata “pintar”, lantaran kuliah S2. Seusai memuji baru beliau berkata “nanti
ikut pengajian ya”. “Iya pak, in sya Allah”. Sampai sekarang saya belum pernah
ikut, parah. Satu lagi yang buat saya terharu, “mas orang jauh kan? Bapak bisa
jadi saudara mas di sini”
Kali ini saya bosannya luar biasa. Pening kepala, di mana-mana yang
saya dengar hanya bahasa Jawa. 10 kosa katapun sampai hari ini belum saya
hafalkan. Saya sudah lumayan mahir berbahasa daerah; Minang, Melayu, Ocu,
Batak, Mandailing dan Banjar. Tapi kali ini lain, semua kosa katanya gak ada
yang diadopsi ke Bahasa Indonesia. Saya sempatkan jalan-jalan sendiri menyusuri
alun-alun kota, menikmati jajanan kaki lima, mengunjungi pameran buku, museum,
melihat taman dan jalan yang ditanami jutaan bunga. Setiap sudut kota bahkan
gang-gang kecil dihias secantik mungkin. Keren abis.
Kamu pernah ke Nagoya kan, di sana banyak jual baju dan elektronik
second, ratusan penjual sibuk menjajakan jualan masing-masing. Nah, di sini ada
namanya Pasar Willis, satu komplek khusus jual buku. Jangan banyangkan seperti
Gramedia atau Toga Mas, ini lebih seperti emperan dan kios-kios. Buku yang
dijualpun beragam, buku baru, bajakan, dan second hand. Ya maklumlah,
mahasiswanya datang ari seluruh penjuru negeri. Jadi gak bisa bawa pulang semua
buku-bukunya. Bisa jadi uang juga, hitung-hitung biaya pulang kampung. Kalau
saya bilang, Gramedia kalah lengkap mungkin.
Saya cuma window shopping, hanya dapat peta kota Malang seharga
Rp.15.000. Saya tempel di kost sebelah kiri meja belajar.
“Hey, Maba (Mahasiswa Baru) juga ya?” Sambil mengulurkan tangannya
untuk berjabat tangan.
“Iya mas” jawabku.
“di Brawijaya?”
“Bukan, saya anak UM.”
“Jurusan?
“Saya Bahasa Inggris, kalau Mas?”
“Saya Matematika, gimana ospeknya, ngapain aja?”
“Ya gitulah, mas”, tuturku.
Saya sengaja datang ke kosan perkumpulan anak Insan Cendekia; Batam,
Tanah laut dan Pekalongan. Saya juga masih sering jumpa dengan anak terpintar
dari Cendekia Sorong Papua Barat. Ya, mereka mengira saya anak baru di program
Sarjana. Saya kan gak bohong. Anak baru ya? Iya jawabku. Beberapa hari
berikutnya anak yang bertanya itu meraih tangan saya sembari minta ma’af.
“Ma’af ustad, saya kira kemarin kita seangkatan”.
“Iya, tak apa”, dia gak liat kerutan wajah dan bekas penembakan
Belanda di wajah saya.
“Oh iya tad, anak pekalongan lulus PKN STAN. Brawijayanya
ditinggal”.
“Haha, Alhamdulillah…anak IC itu memang suka-suka mereka aja ya,
kalau ada sekolah Dinas yang menerimamu dan sudah menjamin kamu pegawai negeri
kenapa tidak ya kan?”
Gedung B.J Habibie berdiri kokoh di kampus Islam bergengsi ini. Saya
pernah bermimpi bisa kuliah di sini. Mimpiku bukan ITB, bukan UGM dan bukan ITS
atau IPB. Saya sempatkan keliling kampus sambil menikmati dinginnya udara. Jam
11 siang tetap saja 20 derajat. Saya ada niatan mau jumpa saudara seiman yang
dulu pernah kenal di Pulau Palas, sewaktu mengabdi di perbatasan Riau-Jambi
tahun 2014.
Gak ada capeknya. Saya ayuhkan kaki dari kost, jalan sekitar 10
menitan. Penasaran saja, kalau di kost bawaannya pengen tidur terus. Gak ada
kawan juga. Saya sempatkan mengintip kampus ITN yang katanya juga lumayan
bergengsi.
Teman, kota kecil ini super padat, macet merayap kalau jam masuk dan
pulang kuliah. Bayangkan saja, ada sekitar 62 perguruan tinggi berdiri di kota
dingin ini. Kalau perhitungan kasar saya, setiap tahun jumlah mahasiswa
bertambah sekitar 40 sampai 50 ribu-an. Gila kan. Kota pendidikan itu sudah
lama pindah dari Jogja ke kota kecil ini.
Kawan, kamu sarapan apa pagi ini? Masih ada gak soto favoritku itu
di Selasa pagi? Jam 10 pagi pulang dari sekolah biasanya saya sempatkan
menanyakan sisa sotonya kepada ibu kantin. Ahh sumpah itu enak kali.
Pagi ini saya gak sempat beli sarapan, tadi habis shubuh ketiduran.
Biasanya saya beli sarapan di pasar pagi di kedai seorang uni dari Pariaman.
Dia selalu sambut saya dengan senyum dan gak lupa menawarkan dagangannya dengan
bahasa Inggris. Kali ini saya beranikan bertanya “How could you speak English
fluently, Uni?’ dia jawab “ I’d lived in Australia about 3 years” eh pantes
pikirku.
Kali ini saya cuma beli jajanan kecil di dekat pagar kampus. 3 ribu
rupiah, seribunya saya masukkan ke botol Aqua bekas milik nenek tua renta yang
mengemis di depan gerbang. Nenek tua itu juga ke kampus tiap hari. Kalah saya
yang masuknya 3 hari saja.
Kawan, dinginnya udara shubuh memaksaku menarik kembali selimut IC
berwarna merah yang dimasukkan si Heru ke koper sebelum berangkat. Ya, kebayang
gak, kamu shalat shubuh pukul 04.05 dengan suhu 14 derajat? Gak ada kawan, gak
ada TV, ah pasti kamu tidur tiap shubuh, bro.
Siangnya saya melewati asrama MAN 2 Malang yang megahnya ampun.
Sekolah ini membuat saya kembali mengulang memori cerita lucu kita di asrama
berwarna tosca itu, brada. Apa kabar di sana? Apakah gudang dan jemuran kita
masih berantakan? Apa masih ada yang mau menyiram pohon di depan asrama itu
kawan? Siramlah sesekali walaupun ustad gak nyuruh kamu lagi.
Hape di saku kanan bunyi. Eh Anak Amerika wa.
[9:09 AM, 9/11/2019] Satria W: Ustaddd satria udah sampai di Washington D.C tad
[9:09 AM, 9/11/2019] Satria W: Ustaddd satria udah sampai di Washington D.C tad
[9:23 AM, 9/11/2019] ذوالخير:
Alhamdulillah... Bismillah ya bg. Jaga diri baik-baik! Jaga kesehatan juga!
[3:26 PM, 9/11/2019] Satria W: Iyaaa ustd makasihh stad, maap stad
baru jawab tadi ketiduran stad
[3:33 PM, 9/11/2019] ذوالخير: Tak
apa. Jet leg?
[3:38 PM, 9/11/2019] Satria W: Iya stad
[3:38 PM, 9/11/2019] Satria W: Tadi kebangun tiba tiba jam 4
[3:38 PM, 9/11/2019] Satria W: Pdahal masang alarm jam 5 stad
[3:39 PM, 9/11/2019] ذوالخير:
Iyelah, jaga diri baik2. VC kapan waktu senggang
[3:40 PM, 9/11/2019] Satria W: Iya stad, nanti ada waktu senggang
satria vc ustad ya 😁
[3:41 PM, 9/11/2019] ذوالخير:
Sipp... 🙃
[11:11 PM, 9/11/2019] Satria W: Sedih stad :’(
[3:42 AM, 9/13/2019] Satria W: Ustaddd
[3:42 AM, 9/13/2019] Satria W: Satria di rumah ada anjing ustad
[3:42 AM, 9/13/2019] Satria W: Ada saran gak ustad gimana satria
shalat stad
[3:42 AM, 9/13/2019] Satria W: Satria udah di kasih ruang khusus
untuk shalat
[3:42 AM, 9/13/2019] Satria W: Terus tadi celana satria di jilat
anjing nya
[3:42 AM, 9/13/2019] Satria W: Jadi satria lepas
[3:42 AM, 9/13/2019] Satria W: Pakek celana pendek
[3:42 AM, 9/13/2019] Satria W: Pakek sarung
[6:41 AM, 9/13/2019] ذوالخير: Iya
bg, disamak aja. Jgn sampai keluarga tahu, takut tersinggung. Boleh share
location bg. Biar ustadz tahu.
[7:05 AM, 9/13/2019] Satria W: Bentr y stad!
Rindu yang tadinya membuncah, sedikit terobati. Dia yang West
Virginia saja santai, lalu kenapa saya harus rindu? Apalagi merindumu teman,
merindu orang yang belum tentu masih ingat lagi dengan saya. Ahhh kamu mah
kejam. Saya saja yang menganggapmu teman.
Oh iya, tadi saya sempatkan kirim surat resmi penaikan bendera
setengah tiang kepada bang Satria. “Sedih lho tad”, kata beliau. “Iya bg”,
ustad juga. Saya juga baru sadar kalau bang Satria berangkat bertepatan dengan
September 11, Pentagon di bom puluhan tahun lalu. Semoga saja beliau aman,
sehat dan istiqomah selama di Amerika. Balek-balek dia bully pronunciation
ustadnya yang hancur. Ampun bang Satria.
Oh iya kawan, hari ini orang tercerdas kita meninggal. Warisan
beliau ada ditanganmu cendekia, kamu sedang menikmati sekolah hasil gagasan
beliau. Saya lihat postingan ustadmu kalau kamu shalat Ghaib untuk beliau,
nanti kalau ustad meninggal kamu shalat Ghaibkan juga ya. Saya mohon. Hmm,,
Kamu mau seperti Pak Habibie kan? Apa kabar tahajjudmu? Apa cerita senin kamis
mu? Apa gerangan hafalan Qur’anmu? Idola kamu beliau, kamu juga harus contoh
prilaku dan ibadah beliau. Gak usah bermimpi selangit kalau kamu gak disiplin
waktu dan gak disiplin ber-Tuhan. Oh iya, satu lagi, percaya gak kalau pak
Habibie selama kuliah di Germany gak pernah dapat beasiswa? Benar adanya,
karena orang tua beliau berjanji akan menyekolahkan beliau tanpa bantuan orang
lain. Keren kan? Saya tunggu ceritamu kawan, next Habibie. Saya juga pengen
seperti beliau, meninggal lalu dido’akan ratusan juta manusia. Allah pasti
mengampuni dosa beliau. Allohumma Aamiin!
Rencana mau ke Gramedia, saya sempatkan melihat arsitek luar biasa
dari sebuah gereja tua di tengah kota. Mungkin peninggalan Belanda kalau tak
salah. Kota ini benar-benar nyaman kawan. Kalau saran saya di sini saja
kuliahnya, mana tahu masih sempat jumpa.
Saya sempatkan shalat maghrib di Masjid biasanya saya shalat. Anak
kecil bernama Leon, Alfa dan dua kawannya berkebangsaan Pakistan ikut shalat di
sampingku. Tak ada khusuknya saya shalat. Anak-anak kecil itu saling dorong.
Dan alhasil dia jatuh sembari menginjak jempol kakiku yang gantengan, eh
cantengan. Ahh,,,, ampun sakitnya. Serasa bidang ekliptika bumi miring 78
derajat. Kamu pernah merasa begitu gak? Alfa menunggu reaksiku setelah salam,
dia menatapku dengan penuh salah, muka memerah. Saya gak ada bicara, senyum
sedikit dan saya tepuk bahu kanannya dengan pelan. Dia meminta ma’af. Kalau
saya marah, mungkin besok dia gak bakalan shalat lagi.
Pagi ini masuk lagi pesan singkat dari nomor baru.
“Assalamu ‘alaikum, afwan saya dapat proposal antum dari teman saya,
saya ada teman yang mau menikah. Apakah antum sudah menikah?”
Deg-degan kawan, bingung mau balas apa. Intinya saya belum siap
untuk sekarang.
Lucu ya, saya memang sudah lama berniat istiqomah untuk tidak
bergaul dengan yang bukan mahram. Tapi modus dan kode-kodean masih sering sih.
Ahhh,, unistiqomah.
Saya membuat Cv dan proposal untuk menikah lalu mengirimnya ke
seorang murabbi beberapa bulan lalu di Batam. Pengen dapat yang shalehah,
apalagi yang bercadar. Ma sya Allah. Kamu tahu teman, “tidak ada yang
mengetahui kemuliaan cadar kecuali dua golongan; yaitu laki-laki yang
pencemburu dan wanita yang memiliki kehormatan”. Dan salah satu lelaki tukang
cemburu itu saya, sayang sekali baru dibalas sekarang. Mudahkan jodohku ya
Rabb!
Kali ini saya sempatkan jalan-jalan dengan teman ke kota Batu, kota
paling dingin di Indonesia setelah Jayawijaya. Sekitar 40 menit dari Malang.
Makan nasi goreng sambil menikmati lampu kerlap-kerlip di alun-alun kota. Ke
sini lah teman. Metik apel kita nanti, atau ke Jatim Park 1, 2 dan 3. Ini kota
wisata, saya traktir kamu. Asyikk…
Gak, saya gak mungkin naik Paralayang. Gak bisa mendarat karena
berat badan gak menjamin. Saya hanya menikmati lampu kota dari puncak
tertinggi. Anak Sejarah Ngawi depan kost ngajak saya ke sana. Ya, ikut aja.
Saya hanya menyaksikan puluhan pasangan muda-mudi di pinggir tebing. Elus dada
saya, kawan.
Kawan! Orang pintar itu “bebas”. Beberapa waktu lalu sempat reunian
dengan adek kelas di IIS waktu di boarding. Saya tanya jurusan apa yang dia
ambil. You know what, “Matematika Murni di Fakultas Sains dan Teknologi”.
That’s great. Saya juga benar-benar penasaran dengan salah satu seniormu yang
kita akui cerdas kuadrat, lalu tiba-tiba berubah haluan di bangku Universitas.
Jawaban beliau singkat, “pengen coba aja tad, mohon do’anya ustad!” Saya jawab
“Orang pintar mah, bebas ya”
Begini kawan, saya merasa sampai sekarang kalau saya tetaplah anak
exact. Tapi sudah lulus dari jurusan satra. Jadi pengen rasanya sesekali
mencoba membuat syair berjudul Vektor, membuat cerita tentang persahabatan “Si
Logaritma dan Algoritma”, “Cemburu buta si Venus kepada Saturnus di kampung
Proxima Centauri” atau yang agak ekstrim “Termodinamika di kawah gunung
Mahameru”. Then, buktinya juga masih suka baca buku Stephen Hawking. Saya gak begitu
tertarik belajar bahasa Inggris. Sampai sekarangpun nilai test resmi Bahasa
Arabku masih lebih tinggi dari bahasa Inggris. Aneh kan? Tahun lalu bahkan mau
ambil kuliah Filsafat, mau coba beasiswa Center for Religious and
Cross-Culutural Studies (Studi Agama dan Lintas Budaya) di UGM. Saya diskusikan
dengan teman. Dia cuma bilang “kamu tu kuliah jangan pakai nafsu saja khoir,
nanti kamu kerja apa coba?”. Saya urungkan niat itu.
Intinya saya lanjut kuliah Linguistics sekarang karena pengen
buktikan ke diri sendiri kalau saya juga bagian semboyan kita itu “Orang pintar
itu bebas”.
Kali ini saya ingin melihat aktifitas warga Malang lebih dekat. Saya
pilih Trunojoyo Park dekat Stasiun Kereta Api.
See! Di tengah carut marutnya negara kita, saya sempatkan menulis
ini untukmu, fellas. Manusia-manusia yang akan sukses berkarir setelah tahun
2020. Saya benar-benar yakin itu terjadi, dan itu yang selalu saya doakan.
Udara di sini segar kali. Kamu apa kabar? Katanya udara di Batam
sudah level tidak sehat. Semoga engkau sehat-sehat saja. “Hutan kebakaran, yang
dipadamkan malah KPK”. Negara kita menang lomba lucu tingkat International.
Kawan, saya hanya menjadi pendengar sekaligus penonton berita hebat
akhir-akhir ini. Satu dari jutaan manusia Indonesia yang kecewa dengan
birokrasi negara kita. Saya menyebutnya KKPN, bukan KKN lagi. KKPN, “Korupsi
Kolusi Polusi dan Nepotisme”. RUU KPK benar-benar mempersempit ruang bagi
orang-orang jujur kita. Warga lagi tercekik, Walikota Pekanbaru sekarang malah
lagi berada di Kanada, pak Menpora dan asistennya ditangkap KPK. Ah udahlah.
Kita gak usah bahas. Bukan apa, kita doakan saja yang terbaik untuk negara +62
kita ini. Terlebih untuk saudara kita di Riau, Jambi dan Kalimantan. Tahu
kenapa? Saya juga pernah terkapar terkurung asap di kota bertuah, Pekanbaru
selama dua minggu. Kebayang gak, kamu harus menutup pintu kos dan ventilasi
rapat-rapat. Memakai masker kemana-mana, lalu menghidupkan kipas. Ampun dah.
Saya juga pernah ikut berteriak bersama ribuan orang di sana, yang mereka salai
itu bukan Ikan, tapi makhluk bernama manusia.
Kali ini saya lebih duluan tiba di kampus dari nenek tua pengemis di
gerbang utara. Pagi buta saya harus baca jurnal dulu sebelum masuk kelas. Di
tangga gedung saya berpapasan dengan bule-bule yang juga ikut kuliah. Udara
dingin sedikit lebih hangat karena ada yang hot. Astagfirullah… mereka pakai
baju yang kurang bahan sih. Harus kuat-kuat iman ini bro. Kebetulan satu gedung
dengan mereka yang ambil program BIPA (Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing).
Ngapainlah mereka kuliah di sini, pikirku. Apa sih susahnya bahasa Indonesia?
Lalu dia juga bisa balas, apa sih susahnya bahasa Inggris? Orang luar negeri di
kampus ini memang banyak bertebaran, tapi memang saya cuek aja sih, apalagi
kalau yang sombong-sombong. Ya, saya dulu punya dosen native dari California
selama dua tahun, ada teman akrab juga dari Vietnam kurang lebih 3 tahun. Jadi
sekarang ketemu orang luar, gak se-excited dulu. “Ba faqot” kata anak IC.
Meski baru masuk kuliah S2, persiapan P.hD sudah dimulai. Nikah dulu
kali ya. Aamiin! Ya, jauh-jauh hari di Alfatihah kan. Saya begitu excited
menghadiri Fulbright Fair yang diadakan di Dome, Universitas Muhammadiyah
Malang, salah satu kampus swasta bergengsi di negeri ini. Megahnya kampus,
gila. Orang luar negri juga banyak kuliah di sini. Bukan apa lagi, salah satu
senior, termasuk inspiring person saya juga merupakan awardee Fulbright di
Central Michigan, mana tahu menular rezekinya. Pameran fulbright ini hanya
dibuka di Jakarta, Jogja dan Malang saja. Ya, saya iseng aja daftar online
beberapa minggu lalu, and I got it free.
Saya kerjanya keliling saja, melihat bule-bule cantik yang mau
diajak nikah. Aduhh lari ini ceritanya. Maksud saya melihat pameran kampus US,
Colorado, Michigan, Alabama dan masih banyak lagi. Ya, hitung-hitung dapat
brosur originalnya. Dapat buku-buku beasiswa dalam dan luar negeri.
Teman! Persaingan pendidikan kita sekarang makin ketat brada. Semua
yang kaya dan miskin sama-sama memperebutkan schoolarship. Memang biaya
pendidikan di kampus bergengsi itu selangit. Syukur-syukur kamu lulus SNMPTN
atau SBMPTN, dan dapat UKT murah. Kalau anta lulus mandiri, SIMAK UI atau UTUL
UGM. Pakai apa bayarnya? Puluhan atau bahkan ratusan juta geng. Mau mencekik
orang tua? Saran saya, kalaupun kamu dari keluarga berada, apa salahnya bekerja
sedikit lebih keras agar biaya kuliahmu murah. Coba lirik juga sekolah Dinas
yang siap menggajimu sambil kuliah, jangan di kepalamu UI, ITB dan UGM saja
bro. Bukan melemahkan semangatmu. Kita juga mesti sedikit refleksi diri.
Kata mereka “hal terpedih setelah perpisahan adalah
rindu”. Iya, kenangan kita sudah terlampau banyak. Ribuan exampelar novel jika ditulis lalu dibukukan.
Aku gak malu
menyampaikan ini, aku kangen.
Masih sering
sedih, apalagi sekarang saya hobbynya bongkar-bongkar folder fhoto-fhoto
keakraban kita.
Ini saya
post beberapa fhoto sunset kita.
Banyak
sebenarnya, tapi ini saja dulu.
Ini sekedar
mengingatkanmu mana tahu kamu lupa kalau saya juga pernah tinggal dan shalat di
tempat kamu berada sekarang.
Ada ribuan
fhoto, jutaan kenangan. Biar aku simpan rapat sendiri.
Kelak kalau
kamu sukses aku bawa untukmu, teman.
Untukmu
orang-orang pilihan.
Untukmu
manusia-manusia super cerdas.
Untukmu
pribadi-pribadi yang aku tunggu-tunggu kesuksesannya.
Cepatlah
tamat, cepat kuliah dan wisuda!
Aku tunggu
nilai sempurna UN dan UTBKnya.
Aku tunggu cerita
prestasi hebatmu.
Aku tunggu
e-mail dan chatmu.
Aku tunggu
telponmu hari ahad.
Tak apa,
sesekali saja sudah cukup.
Aku
merindumu.
Aku rindu,
teman.
Love you,
always.
Semoga
reunian di jannah-Nya.
Lereng Bromo,
20 September 2019
by Lord's Employee
by Lord's Employee